Kebijakan Hijau pada Minyak Kelapa Sawit Ternyata Tidak Semata-mata untuk Penyelamatan Lingkungan

391

Baca juga: KPH Notonegoro: Tarian Bukan Sekadar Pola Lantai dan Koreografi

Misalnya kebijakan RED II (Renewable Energy Directives) dari Uni-Eropa yang salah satu poinnya menyulitkan Indonesia.

Poin itu adalah mengkategorikan minyak sawit sebagai high risk-indirect land use change (berisiko tinggi terhadap perusakan hutan alias deforestasi).

Menurut Irfan, produk dengan kategori high-risk indirect land use change (ILUC) tidak mendapat skema subsidi renewable energi dari Uni-Eropa.

Hal itu akan berakibat pada mahalnya harga bahan bakar dari minyak sawit.

“Sedangkan, produk mereka sendiri (Eropa) yang berasal dari rapeseed, dikategorikan low risk-ILUC,” ujar Irfan, penulis buku Hutan Jawa Menjemput Ajal dan Desa Mengepung Hutan.

Baca juga: Dubes Djauhari Sebut 21 Produk yang Berkontribusi Tingkatkan Kinerja Ekspor Indonesia ke Tiongkok

Padahal, lanjut Irfan, dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh WWF, rapeseed dinyatakan butuh luasan lahan yang 7 kali lebih besar ketimbang sawit.

Dalam hal ini untuk memproduksi jumlah minyak yang sama.

Meski begitu, sawit tetap dikategorikan berisiko tinggi lantaran dianggap mengubah fungsi hutan tropis menjadi kawasan bukan hutan.

Kategori high-risk ILUC juga didaratkan pada sawit yang ditanam di lahan bekas sawah atau bekas ladang padi.

Padahal, menurut Irfan, hal itu seharusnya tidak termasuk deforestasi.

Baca juga: Sumbangsih Pemikiran Warga KAGAMA untuk Wujudkan Indonesia 4.0 pada Aspek Keberlanjutan dan Energi