Alumnus FEB UGM Angkatan 1994 Raih Gelar Profesor Riset dari LIPI

1692

Baca juga: Hadapi Pandemi, Antropolog UGM Ajak Masyarakat Belajar Ketangguhan Sosial-Ekonomi Para Petani di Desa Petung

“Hal ini menjadi konteks konflik komunal pasca reformasi. Setelah 2004 konflik komunal bergeser menjadi persekusi minoritas aliran keagamaan,” ucap Cahyo.

“Setelah 2016, karakteritik konflik bergeser menjadi tindakan intoleransi terhadap kelompok agama lain. Di samping itu terdapat konflik berkelanjutan,  yaitu konflik separatis di tanah Papua,” terangnya.

Cahyo menilai, pendekatan bahwa identitas etnis dan agama sebagai sumber utama konflik perlu direkonstruksi kembali.

Sentimen primordial tidak secara langsung mendorong tindakan intoleran dan atau kekerasan.

Meski demikian, kata dia, sentimen tersebut dapat digerakkan oleh ekosistem konflik untuk mendorong tindakan intoleran dan kekerasan.

Baca juga: Hutan Tanaman Industri Harus Patuhi 3 Pilar Pelestarian

Oleh karena itu, dia menekankan, pendekatan dalam kajian konflik perlu memusatkan perhatiannya pada ekosistem konflik.

“Termasuk relasi dominasi dalam sistem politik, ekonomi, dan sosial yang mengakibatkan deprivasi relatif. Penggunaan identitas dalam politik dapat menjadi sumber utama konflik dan intoleransi,” ujar Cahyo.

“Namun, dengan memusatkan perhatian pada ekosistem konflik, maka konflik komunal dapat diselesaikan melalui pendekatan rekonsiliasi kultural,” jelas lelaki yang lahir pada 11 September 1975 ini.

Cahyo mencontohkan dalam kasus konflik interagama (dalam agama yang sama), rekonsiliasi kultural terjadi melalui program inklusi sosial.

Proses ini melibatkan pihak yang berkonflik untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya.

Baca juga: Begini Tantangan Manajemen Human Capital Perusahaan di Masa Krisis