Hutan Tanaman Industri Harus Patuhi 3 Pilar Pelestarian

1227

Bacaca juga: Industri Sawit Siap Dukung Implementasi Energi Baru Terbarukan

Selain yang disebutkan di atas, ada risiko reputasi perusahaan, risiko pembiayaan bisnis, dan risiko penjualan serta pemasaran produk.

Risiko yang disebutkan terakhir akan menyebabkan perusahaan kehilangan hak menggunakan label sertifikasi.

Seperti sertifikasi FSC (Forest Stewardship Council) yang diadopsi produk kerajinan Indonesia.

Sandy menilai, beberapa konsumen yang melek dengan isu lingkungan biasanya tak mau membeli produk yang tidak mengantongi sertifikasi tersebut.

“Sekarang FSC juga digunakan untuk produk selain kehutanan. Misalnya di minyak sawit, gula, dan kedelai,” ucap Sandy, yang lahir pada 16 September 1981.

Baca juga: Wisuda Program Sarjana Fakultas Biologi UGM Terasa Spesial

Lebih lanjut, Sandy menjelaskan tahapan konservasi (high conservation value: HCV) dengan level berjenjang 1-6. Meliputi: 1) keanekaragaman jenis, 2) ekosistem level lanskap, 3) ekosistem habitat langka, 4) jasa ekosistem, 5) kebutuhan hidup masyarakat lokal, dan 5) nilai budaya.

Sandy mengatakan, HCV level 1-6 adalah isu global yang relatif lebih mudah diterapkan. Sedangkan HCV level 4-6 bersifat lokal yang masing-masing lokasi berbeda.

Di sisi lain, konservasi juga bisa dilakukan dengan meninjau kondisi awal HTI.

Ada tiga ragam pengelolaan yang disebutkan Sandy: reforestasi, aforestasi, dan konservasi.

Dalam reforestasi, kegiatan konservasi dilakukan pada HTI yang dulunya hutan terdegradasi, tetapi masih ada sisa tegakan alami dan habitat jenis alami baik flora maupun fauna.

Baca juga: Indonesia Butuh 100 Kawasan Ekonomi Baru agar Bisa Jadi 5 Besar Dunia