Relasi Kekuasaan Jadi Alasan Mengapa Kekerasan Seksual Ada di Dunia Pendidikan

943

Baca juga: Prihatin Para Tetangga Terdampak Pandemi, Rimbawati UGM Ini Pasang Canthelan di Desa Singosaren, Bantul

Fakta yang ditemukan Widy menyatakan hal yang bertolak belakang. Seorang mahasiswa memotret dosennya yang sedang menerangkan, lalu diunggah di Instagram.

Tak dinyana, komentar yang muncul dari mahasiswa perempuan adalah “lihat bokongnya, terlihat seksi bukan?” Bagi Widy, itu termasuk bentuk pelecehan.

Adapun mitos selanjutnya adalah IQ berbanding lurus dengan libido.

“Kultus akademis dan mitos akademis didengungkan hingga akhirnya orang mulai berkata ‘wow’,” kata Widy.

“Relasi kekuasaan pun mulai bekerja. Ketika kita mulai terkagum-kagum pada hal yang tidak rasional itu berarti relasi kekuasaan mulai bekerja.”

Baca juga: Bupati Pertama Purbalingga adalah Pebisnis Ulung Gemblengan Jepara

“Fenomena yang terjadi di sini termasuk bucin (budak cinta) atau tidak bisa move on,” jelasnya.

Pengasuh Pondok Pesantren Aswaja Nusantara, Mlangi, Sleman, Kiai M. Mustafid, memandang, pelecehan seksual dalam kasus terkini yang terjadi merupakan persoalan struktural.

Namun, fenomena tersebut juga bersinggungan dengan kekerasan kultural. Menurut Mustafid, kekerasan struktural ini ada di kampus.

Sayangnya, sebagian besar kampus belum punya kebijakan penindakan dan panduan pelaporan untuk mengecah kekerasan seksual.

“Yang terjadi saat ini perempuan menjadi pihak yang selalu disalahkan. Lebih berpihak kepada pelaku daripada korban,” kata Mustafid.

“Saya kira, kampus harus melakukan transformasi. Harus ada gerakan sistematik untuk melakukan pencegahan.”

“Tidak cukup legal material, tetapi lebih ke membangun perspektif kesadaran,” pungkas alumnus Filsafat UGM angkatan 1995 ini. (Ts/-Th)

Baca juga: KAGAMA Bali Gelar Pameran Seni Rupa sebagai Refleksi Masa Pandemi