Faktor yang Membuat Adaptasi Kebiasaan Baru Sulit Diterapkan di Angkutan Perkotaan

586
Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Prof. Wihana Kirana Jaya, memberikan pandangannya soal penanganan Covid-19 dilihat dari sisi transportasi. Foto: Maulana
Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Prof. Wihana Kirana Jaya, memberikan pandangannya soal penanganan Covid-19 dilihat dari sisi transportasi. Foto: Maulana

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) butuh waktu yang tidak sebentar, bahkan jangka panjang.

Di tingkat komunitas, AKB perlu percepatan, pemantauan, sosialisasi, dan enforecement (dorongan) atau persuasi secara terus menerus.

Adapun di tingkat korporasi, misalnya maskapai, perlu pengembangan manajemen proses berbasis protokol kesehatan.

Hal itu unuk menjamin kualitas layanan yang nyaman, aman, dan meyakinkan penumpang, sesuai Surat Edaran Dirjen Perhubungan Udara No 13/2020.

Demikian seperti disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Prof. Wihana Kirana Jaya, dalam Harian Kompas, Senin (10/8/2020).

Baca juga: Lakukan Mitigasi Penanganan Covid-19, Fakultas Biologi UGM Sosialisasikan Ketahanan Pangan kepada Petani Desa Madurejo

Pandangan Wihana tentang perubahan sosial menyangkut norma atau kebiasaan tersebut merujuk analisis 4 level dari peraih Nobel Ekonomi 2009, Prof. Williamson.

Serta peraih Nobel Ekonomi 1993, Douglas C. North, dalam bukunya Institutional Change and Economic Performance (1990).

Terkait transportasi, Wihana menilai, sektor ini memegang peran krusial dalam pengendalian pandemi dan pertumbuhan (sosial) ekonomi.

Misalnya di DKI Jakarta, ketika pembatasan sosial berskala besar diberlakukan (PSBB), seluruh moda transportasi maksimum mengangkut 50 persen kapasitas penumpang.

Itu mulai dari kereta commuter line, MRT, LRT, busway, bus, dan angkot (angkutan perkotaan). Sedangkan ojek online hanya boleh mengantar barang.

Baca juga: Cerita Alumnus Fakultas Kehutanan UGM yang Membeli Bahan Canthelan dari Pedagang Kaki Lima dan Asongan