Pembatasan Gerak Industri Sawit adalah Sebuah Kolonialisme Baru di Indonesia

896
Pengamat kehutanan dan lingkungan alumnus Fakultas Kehutanan UGM, Petrus Gunarso, menilai bahwa stigma dunia pada industri sawit merupakan bentuk kolonialisme baru di Indonesia. Foto: Tropis
Pengamat kehutanan dan lingkungan alumnus Fakultas Kehutanan UGM, Petrus Gunarso, menilai bahwa stigma dunia pada industri sawit merupakan bentuk kolonialisme baru di Indonesia. Foto: Tropis

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Kementerian Pertanian merilis data luas lahan perkebunan kelapa sawit pada 2020 ada di angka 16,381 juta hektar.

Riau menjadi provinsi dengan luasan paling besar (3,87 juta hektare), disusul Sumatera Utara (2,079 juta hektare), dan Kalimantan Barat (1,807 hektar).

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa industri sawit hanya menggunakan 7,9 persen dari total luas hutan di Indonesia.

Walau begitu, aktivitas industri sawit selalu dikaitkan dengan isu deforestasi.

Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan indonesia (Persaki), Petrus Gunarso, Ph.D. tidak sependapat akan hal itu.

Baca juga: Dokter Alumnus UGM Ini Niat Tekuni Filantropi dan Marketing Kesehatan Berkat Praktik di Pedalaman

Menurut Petrus, isu deforestasi adalah akal-akalan negara-negara maju dunia (barat) untuk lepas dari tanggung jawab.

Yakni terhadap masalah perubahan iklim, sekaligus mematikan industri minyak sawit (CPO) Indonesia.

Maklum, Indonesia adalah juara CPO (Crude Palm Oil) dengan menguasai 85 persen pasar dunia.

“Jargon global saat ini adalah climate change, sustainability, transparency, landscape approach,” kata Petrus, dalam webinar yang diadakan GAPKI (Gabungan Pengusahan Kelapa Sawit Indonesia) Rabu (15/7/2020) lalu.

Klaim negara-negara barat memang tidak berdasar jika dihadapkan dengan fakta yang ada di lapangan.

Baca juga: Benarkah Kebun Sawit Penyebab Kerusakan Hutan Dunia?