Kawruh Jiwa dari Ki Ageng Suryomentaram Bukanlah Ajaran Kelompok Kebatinan

2893

Baca juga: Budi Karya Sumadi: Fotografi Bisa Bangkitkan Kegembiraan dan Optimisme di Masa Pandemi

Pasalnya, melalui Kawruh Jiwa, Ki Ageng ingin membebaskan pemikiran-pemikiran mistik yang identik dengan Jawa.

“Ki Ageng mengusulkan ilmu yang baru. Dia memakai terma sesuai dengan tradisinya. Namun, dia punya corak yang rasional serta tidak kehilangan gagasan filsafat,” ujar Irfan.

“Kawruh Jiwa coraknya berbeda dari keilmuan Jawa sebelumnya, meskipun kesimpulannya sama. Ki Ageng hanya berbicara dalam bahasa lain.”

“Kawruh berasal dari weruh (terlihat), sesuatu yang terlihat secara indra. Hal ini memiliki konotasi yang berbeda dengan ngelmu,” jelasnya.

Irfan lantas berkisah tentang peristiwa yang terjadi sehingga Ki Ageng Suryomentaram merumuskan Kawruh Jiwa.

Baca juga: Enam Langkah yang Harus Dilakukan Indonesia dalam Mengembangkan Energi Baru dan Terbarukan

Ceritanya diawali saat Ki Ageng berumur 18 tahun dan telah menikah.

Kala itu, batin anak ke-55 dari Sultan Hamengkubuwono VII ini berada dalam pergulatan besar.

Dia tidak puas dalam hidup dan mengalami guncangan eksistensi.

“Ki Ageng mengistilahkan dengan ‘Seprana seprene aku durung kepethuk wong (hingga saat ini aku belum berjumpa orang)’,” kata Irfan.

“Dia merasa orang-orang selalu ditempeli embel-embel identitas. Sehingga, orang menuntut kita untuk disembah, dipuji, diberi penghargaan atas capaian, dan sebagainya.”

Baca juga: Tiga Jebolan FKG UGM Jadi Pimpinan Lembaga Kedokteran Gigi TNI AL RE Martadinata