KAGAMA.CO, YOGYAKARTA – Sebuah pertanyaan penuh kegundahan muncul dalam pikiran Nurhayati Nirmalasari di suatu hari pada 2015.
Pertanyaan itu adalah: mengapa masih sedikit pelaku industri yang mau mengolah kedelai lokal menjadi sebuah produk?
Padahal, kedelai lokal punya potensi besar untuk bisa dikembangkan.
Apa yang muncul di benak Nurhayati timbul setelah dirinya kerap berdiskusi dengan sang suami, Atris Suyantohadi.
Kebetulan Atris adalah staf pengajar di Departemen Teknologi Industri Pertanian UGM dan menjadi peneliti kedelai.
Baca juga: Upaya Aktivis KAGAMA Bali Ajak Masyarakat Mandiri Pangan dan Gemar Bercocok Tanam
Kata Nurhayati, Indonesia sebetulnya menghasilkan banyak jenis kedelai. Namun, lanjutnya, masih kurang terangkat reputasinya.
Di sisi lain, kebutuhan kedelai nasional untuk produksi dan konsumsi sebagian besar malah bergantung pada kedelai impor.
Mayoritas kedelai impor merupakan hasil rekayasa genetika (transgenik).
Alhasil, Nurhayati mencoba peruntungannya untuk mengolah kedelai lokal.
Ibu dua orang anak ini mendapatkan kedelai lokal dari petani yang dibina sang suami di beberapa daerah Jawa Tengah.
Baca juga: Ganjar Sudah Kangen Masakan Ikan Sempedas Khas Riau