Baca juga: Gandeng UMKM, KAGAMA Batang Bagikan 1.000 Masker kepada Masyarakat
Di proyek inilah, kata Setiyono, Mas Halim mengaku mulai merasakan kekaguman terhadap kecerdasan akademik yang dimiliki Pak Kanto.
Hal ini terjadi, ucapnya, terutama pada saat penyusunan laporan dan presentasi di hadapan orang-orang penting di BUMN itu.
Selain cerdas, ada kelebihan lain yang dikagumi Mas Halim tentang Pak Kanto.
Menurut Mas Halim, Pak Kanto juga tidak pernah memperlihatkan ekspresi marah.
“Kalau pun marah, maka marahnya pak Kanto itu bentuknya ‘halus’ sekali,” kata Setiyono.
“Nah, Mas Halim merasa bahwa sudah pernah ‘dimarahi’ oleh Pak Kanto suatu ketika pada waktu bermain bola voli tahun 80-an,” sambung lulusan S3 Temple University, Amerika Serikat ini.
Setiyono menjelaskan, permainan bola voli pada tahun 1980-an itu masih di lapangan yang berada di Sekip, dekat rumah dinas Pak Kanto.
“Saat itu, kalau saja Mas Halim tidak pandai ‘membaca’ dengan baik, maka seolah beliau sedang ‘dimarahi” atau ‘ditegur’,” kisahnya.
Baca juga: Tim Medis Tak Berjuang Sendirian, KAGAMA Bali Dirikan Dapur Umum untuk Penuhi Gizi Mereka
Cerita dari Agus Sartono (Mas Agus): Humanisme
Cerita dimulai pada 1986, ketika Mas Agus menjalankan tugas sebagai Asisten Pak Kanto.
Menurut Setiyono, sebagai seorang asisten, Mas Agus ditempatkan di belakang ruang kerja Pak Kanto, Sayap Selatan Gedung Pusat UGM.
Pada waktu itulah Mas Agus sering dilibatkan kegiatan penelitian oleh Pak Kanto.
Padahal, Mas Agus merasa bahwa kontribusinya sebagai dosen muda sebenarnya sangat minim.
Namun, Pak Kanto tidak pernah membedakan status. Hal itulah yang membuat Mas Agus sangat bersyukur dalam tiga tahun pertamanya menjadi CPNS hingga PNS.
“Perlakuan ini tidaklah secara eksklusif hanya dirasakan oleh beliau. Tetapi banyak dosen muda yang mempunyai pengalaman serupa,” kata Setiyono.
“Mereka pun merasa betapa sangat dermawannya Pak Kanto,” terangnya.
Baca juga: 18 Herbal Ini Sudah Teruji Bisa Tingkatkan Daya Tahan Tubuh
