Bagaimana Perasaan Orang yang Terbukti Melakukan Korupsi?

1622

Baca juga: Alumnus Sosiologi UGM Ini Jadi IRT yang Sukses Kembangkan Kopi Baringga

Penelitian tersebut diterbitkan Jurnal Psikologi UGM pada 2014.

Di penelitian ini, Nadia fokus untuk mencari tahu ‘Bagaimana makna pengalaman melakukan korupsi?’

Nadia memulai penelitian ini dengan mengungkap kasus-kasus dugaan korupsi yang sudah pernah terjadi.

Dia mengambil sampel di Surakarta, Jawa Tengah.

Data-data yang dia kumpulkan berupa data primer dan data sekunder.

Pada data primer, Nadia melakukan wawancara kepada dua orang sumber, X dan Y.

X adalah mantan anggota DPRD yang ditahan karena tuduhan melakukan mark up dana APBD Surakarta  pada 2003 (Rp9,8 miliar).

Baca juga: Hewan Kehilangan Habitatnya akibat Ulah Manusia

Sementara itu, Y merupakan subjek yang dituduh melakukan korupsi dana aspirasi sebesar 250 juta.

Wawancara selama 45 menit kepada dua sumber difokuskan untuk menanyai soal bagaimana pikiran, perasaan, dan tindakan seusai melakukan korupsi.

Adapun data sekunder diperoleh Nadia melalui LSM anti korupsi Indonesia (MAKI), serta beberapa literatur pendukung.

Dari hasil yang diperoleh, perasaan yang dialami terduga pelaku korupsi berbeda-beda.

Pasalnya, perasaan adalah hal yang sangat personal antarinforman.

Dalam kasus X, dia melakukan korupsi sistemik.

Korupsi sistemik adalah kombinasi antara politik dan korupsi yang dilaksanakan secara teratur, tersistem, dan terstruktur.

Baca juga: Kecanduan Kopi Berbahaya bagi Kesehatan, Berikut Solusinya

X, yang dihukum penjara tiga tahun, mengaku melakukan tindak korupsi karena solidaritas.

“Saya enggak enak sama teman-teman yang sudah menyetujui anggaran ini. Sehingga, untuk kasus Saya secara pribadi, Saya tidak tahu di mana korupsinya, karena DPRD memang diberi wewenang untuk mengatur sendiri anggarannya,” tuturnya.

X, yang dikenal teman-temannya sebagai pria jujur dan amanah, dinilai Nadia sebagai orang yang paling siap menjalani hukuman ketimbang 12 rekannya yang terlibat.

Bahkan, X mengaku berterima kasih pernah dimasukkan ke penjara.

“Itu merupakan pembelajaran dan hikmah terbesar dalam hidup Saya. Saya justru pernah mendapat penghargaan dari LP tingkat Kanwil karena menggiatkan aktivitas keagamaan di sana, sampai sekarang hampir setiap hari selalu ada pengajian,” terang X saat diwawancarai.

Sementara itu, Y melakukan tindakan korupsi yang masuk kategori sistematik.

Korupsi sistematik contohnya adalah para pelaku membeli loyalitas dengan cara membagikan sejumlah uang kepada para pemilihnya (konstituen).

Baca juga: Kuliner Halal Jadi Tantangan dalam Pengembangan Pariwisata DIY

Dalam hal ini, Y diduga melakukan korupsi aliran dana aspirasi dari salah satu anggota DPRD Jateng bernama Z.

Nadia menilai, Y adalah orang yang keras kepala karena tidak mau mendengar nasihat keluarga dan istrinya agar tidak terlalu dekat dengan anggota dewan.

Sebetulnya, tuduhan korupsi terjadi karena Z tidak mau mengeluarkan kuitansi pengeluaran dana yang diterima Y.

Sehingga, Y tidak punya bukti yang sah terhadap penyaluran dana.

Padahal, Z adalah penggagas penyaluran dana aspirasi.

“Jadi, teman-teman mengira Saya telah melakukan korupsi. Tapi, malah Z tidak dijadikan saksi apalagi tersangka. Saya tidak tahu, apa ada permainan di balik itu semua,” ucap Y.

Y, yang dijerat hukuman 2 tahun dengan subsider 4 bulan penjara, merasakan dampak pelik dalam kasus yang dia alami.

“Dampaknya banyak yang negatif. Meski Saya yang nanggung, nama keluarga besar saya ikut jatuh di masyarakat. Saya juga khawatir kalau nanti anak saya dibilang, ‘Oh, itu bapaknya kan mantan tahanan’,” pungkas Y. (Tsalis)

Baca juga: Pariwisata Berbasis Budaya di DIY Belum Sepenuhnya Terwujud, Ini Kendala dan Strateginya