Indonesia Perlu Rombak Birokrasi yang Cocok untuk Kaum Milenial

774

Baca juga: Sejarah Terbentuknya Kamenwagama, Berawal dari Acara Tahun Baru

Pria asal Klaten ini pun melihat ada beberapa faktor yang menyebabkan birokrasi publik di Indonesia belum mampu merespons masalah strategis pembangunan.

Pertama, birokrasi publik Indonesia kurang cepat dan tepat dalam menyikapi perubahan situasi dunia yang dinamis.

Kedua,  birokrasi gagal menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi karena terlalu berpedoman pada regulasi, prosedur, hierarki, dan kontrol yang rigid.

Dua masalah itu berimbas pada kemunculan penyakit decision making delay atau adanya jeda waktu antara perumusan kebijakan dan implementasinya.

Erwan lalu percaya bahwa konsep agile (dapat bergerak mudah dan cepat) hadir untuk memberi tawaran perubahan paradigma birokrasi.

“Mengapa dalam dua dekade terakhir banyak pemerintah dunia mengadopsi paradigma agile?” kata Erwan bertanya.

“Hal itu karena mereka menyadari kebutuhan untuk bekerja lebih strategis, fleksibel, dan adaptif terhadap perubahan. Sehingga, menghasilkan kebijakan dan layanan publik yang lebih baik,” jelas ayah satu orang anak ini.

Baca juga: Belajar Good Governance dari Walikota Solok Zul Elfian

Paradigma birokrasi agile dianggap Erwan memiliki kapasitas dalam menghadapi kondisi dunia yang sarat VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, and Ambigous).

Terminologi yang pertama kali dicetuskan militer Amerika Serikat pada 1987 ini diartikan sebagai situasi dunia multilateral yang dinamis, fluktuatif, penuh ketidakpastian, kompleks dan ambigu.

Birokrasi yang agile dan inovatif hadir untuk menjembatani perbedaan generasi antara aparat birokrasi dengan publik yang dilayani.

Aparat birokrasi Indonesia saat ini lahir pada generasi baby boomers (1946-1967) dan generasi x (1968-1980), sementara publik yang dilayani merupakan orang-orang dari generasi milenial (1981-1995) dan generasi z (1995-2010).

Erwan menyatakan ada empat cara dalam mewujudkan birokrasi dan kebijakan publik yang agile dan inovatf dalam menghadapi era VUCA.

Pertama, pemerintah perlu merumuskan pengubahan cara kerja birokrasi gaya lama ke cara kerja baru yang lebih terbuka, adaptif, dan responsif.

Kedua, karakter pemimpin haruslah siap menghadapi lingkungan yang tidak stabil dan tidak dapat diprediksi.

Ketiga, melakukan pendekatan citizen-centric. Warga negara memegang peranan penting dalam kebijakan publik yang agile,” ujar Erwan.

Keempat, investasi sumber daya manusia untuk menguasai bidang-bidang ilmu baru,” pungkas Erwan. (Tsalis)

Baca juga: Globalisasi Cinta yang Membuat Perempuan Tetap Jadi Gundik