Globalisasi Cinta yang Membuat Perempuan Tetap Jadi Gundik

1727

Baca juga: Paduan Suara Mahasiswa UGM Sabet Dua Penghargaan Internasional

“Satu tentang globalisasi cinta lewat film Hollywood, FTV, dan media lain,” ujar Suzie.

“Di sisi lain (yang kedua) ada arus yang berasal dari dalam masyarakat kita sendiri. Yaitu kita masih belum selesai dengan era pergundikan. Jadi bertemulah era pergundikan melawan globalization of love,” tuturnya.

Maksud dari Suzie soal era pergundikan berkaca pada konsep cinta zaman kolonialisme.

Yakni saat dua orang yang saling mengasihi tidak diperkenankan menjalin ikatan karena tidak selevel.

Karena itu, jika ada dua orang tidak sederajat ingin merealisasikan cintanya, salah satu pihak harus rela menjadi gundik (budak).

Baca juga: Kagama Pemalang Kirim 35 Ribu Liter Air Bersih untuk Atasi Kemarau Panjang

Dalam hal ini perempuan menjadi pihak yang selalu dipergundik.

Di tengah pergelutan antara globalisasi dan era pergundikan, Suzie melihat bahwa cinta sebetulnya menjadi ruang privat bagi setiap individu alias subjektif.

Artinya, seseorang bebas mencintai siapa pun.

Hanya saja, tidak tahu mengapa seseorang selalu menarik perhatian publik ketika memilih sosok yang dicintai.

“Ekspresi cinta Anda selalu dilihat oleh publik, misalnya saat Anda pergi berdua ke kafe. Ujung-ujungnya Anda akan ditanya ‘Kamu sudah jadian? Kamu sudah nembak?” terang Suzie.

Baca juga: KKN UGM Bakal Rehabilitasi Kawasan Bekas Tambang di Lokasi Ibu Kota Baru