Nama Didi Kempot Kembali Bergema dalam Orasi Ilmiah Dies Natalis ke-70 UGM

799
Bahasa ngoko yang digunakan dalam lagu dinilai menjadi cara mengungkapkan patah hati yang terdalam. Foto: Taufiq Hakim
Bahasa ngoko yang digunakan dalam lagu dinilai menjadi cara mengungkapkan patah hati yang terdalam. Foto: Taufiq Hakim

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Nama The Godfather of Broken Heart, Didi Kempot kembali bergema dalam orasi ilmiah bertajuk Inovasi Akademik untuk Menguatkan Daya Saing Bangsa Melalui Revitalisasi Pendidikan Pascasarjana.

Orasi tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono, M.A. pada Rapat Terbuka Universitas Gadjah Mada, Kamis (19/12/2019).

Guru besar Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya UGM ini mengingat sebuah penampilan Didi Kempot kala menyambangi FIB pada Agustus 2019.

Kala itu, bintang campursari asal Surakarta, Jawa Tengah itu meramaikan panggung bertajuk Kampung Budaya, Jogja Ngaruhke, Jogja Ngarahke yang digelar FIB bersama Pemda DIY, serta laboratorium Antropologi UGM untuk menyambut mahasiswa baru angkatan 2019.

Acara tersebut  kemudian memperlihatkan bahwa seolah tak ada sekat antara  ribuan mahasiswa yang dikatakannya imut-imut dan wangi, dosen, dan tenaga pendidikan yang menyaksikannya.

Suasana Rapat Terbuka Universitas Gadjah Mada. Foto: Humas UGM
Suasana Rapat Terbuka Universitas Gadjah Mada. Foto: Humas UGM

Baca juga: 3 Sosok Peraih Anuegarah HB IX Award 2019

“Mereka tumpah ruah, mengharu biru, menyanyi dan hafal lagu, bahkan bersenandung lebih keras daripada sang penyanyi, semuanya ambyar,” ungkap Prof. Laksono yang disambut tepuk tangan hadirin.

Menurut Prof. Laksono, cara Didi Kempot menyampaikan pesan dalam lagu-lagunya menarik.

Bahasa ngoko yang digunakan dalam lagu dinilai menjadi cara mengungkapkan patah hati yang terdalam.

Menurut Prof. Laksono, acara yang digelar FIB UGM tersebut juga menyampaikan pesan mengenai pluralisme, keterbukaan dalam menerima perbedaan dan saling menghormati.

Selain itu, dalam kemajuan zaman dan beberapa generasi yang hadir, seperti generasi revolusi industri 4.0, generasi Kpop, generasi media sosial yang serba teknologi masih membutuhkan sentuhan kemanusiaan.

Prof. Laksono menceritakan pengalamannya bertemu dengan seorang sopir taksi daring.

Baca juga: Tim Berharap Ada Produksi Massal Mobil Listrik Arjuna UGM