Plus-Minus Pelaksanaan Sistem Zonasi Sekolah

519
Kebijakan zonasi penerimaan peserta didik baru dianggap menguntungkan siswa yang tinggal di dekat sekolah yang dianggap favorit. Foto: Kemendikbud
Kebijakan zonasi penerimaan peserta didik baru dianggap menguntungkan siswa yang tinggal di dekat sekolah yang dianggap favorit. Foto: Kemendikbud

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Sistem zonasi penerimaan mahasiswa baru jenjang sekolah menengah kembali menjadi perbincangan.

Hal ini seiring dengan rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nadiem Makarim mengubah kebijakan.

Nadiem mencoba merilis kebijakan yang lebih lunak terkait sistem tersebut dengan menambah kuota penerimaan siswa baru dari jalur prestasi menjadi 30 persen, dari sebelumnya 15 persen.

Sementara itu, kuota jalur prestasi diturunkan dari yang mulanya 80 persen menjadi 70 persen.

Kebijakan zonasi dalam sistem penerimaan peserta didik baru tingkat sekolah menengah sempat menjadi pro kontra pada awal pelaksanaannya tahun 2017.

Hal itu menjadi polemik ketika siswa yang mendapat nilai tinggi dari ujian akhir tingkat pendidikan sebelumnya, gagal masuk ke sekolah yang dianggap favorit.

Selain itu, kebijakan tersebut juga dianggap menguntungkan siswa yang tinggal di dekat sekolah yang dianggap favorit, karena menjadi sangat mudah untuk diterima, meskipun tak mendapat nilai tinggi.

Baca juga: Macam-Macam Ekspresi Kemarahan

Penerimaan peserta didik baru untuk sekolah menengah dengan sistem zonasi ini menjadi perhatian Puthut Indroyono, peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dalam sebuah penelitiannya yang berjudul Pro Kontra Sistem Zonasi, Mau Dibawa ke Mana Masalah Ini? tahun 2019.

Puthut menyoroti beberapa masalah yang terjadi dalam sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru, seperti cara pelaksanaan PPDB, hingga masalah pendidikan yang lebih luas, seperti proses pembelajaran siswa, motivasi belajar, prestasi sekolah, masalah orangtua murid dan guru, serta masyarakat.

Dia membabar beberapa kasus yang terjadi dalam PPDB zonasi yang diselenggarakan Kota Yogyakarta.

Satu masalah utama yaitu persebaran sekolah yang kurang merata, dengan empat kecamatan seperti Mergangsan, Wirobrajan, Ngampilan, hingga Pakualaman, tak memiliki SMP Negeri.

Letak SMP Negeri juga tak merata, kebanyakan berada di bagian utara dan barat kota yang menambah kesulitan dalam pemerataan akses.

Putut kemudian menyoroti salah satu kebijakan zonasi, yaitu didasarkan pada jarak rumah dan sekolah.

Kebijakan tersebut menjadi penyebab adanya wilayah yang muridnya sama sekali tak mendapatkan akses ke sekolah, karena menggunakan jarak fisik antara sekolah dan tempat tinggal siswa.

Baca juga: Bukan Cuma Sampah yang Bikin Wilayah Perkotaan Alami Banjir