Dampak Cuaca Ekstrem, Penyakit Akut Leptospirosis di Bantul Meningkat

377

Baca juga: BPD DIY Berikan Bantuan Mobil Ambulans dan Beasiswa kepada Mahasiswa UGM

Kabupaten Bantul pun dipandang sebagai salah satu daerah endemik penyakit ini karena menunjukkan kenaikan frekuensi yang berulang setelah enam tahun.

Meskipun begitu, ada tren penurunan yang terjadi antara 2011 dan 2017. Ada 15 kasus per 100 ribu penduduk pada 2011, nilai itu menurun menjadi 11 kasus pada 2017.

Lathifah lantas mengumpulkan data-data tentang suhu udara, kelembaban udara, dan curah hujan di Bantul yang terjadi antara 2010-2018 alias sembilan tahun belakangan.

Dia memperoleh data tersebut dari BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) DIY.

Kemudian, dia memadukannya dengan CFR (Case Fatality Rate) atau angka kematian yang disebabkan oleh penyakit Leptospirosis dari Dinas Kesehatan Bantul.

Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan, Bantul memiliki rerata suhu udara 27,2 derajat C, kelembapan udara 84 persen, dan curah hujan 171 mm.

Dalam kurun 2010-2018, terdapat 779 kasus.

Baca juga: UGM Lantik 318 Insinyur demi Dukung SDM Indonesia Maju

Jumlah kasus tertinggi terjadi pada 2011, yakni 154, dengan mengalami puncaknya saat bulan Mei, 120.

Lathifah menyimpulkan, suhu udara dan kelembaban udara memang memiliki hubungan positif, tetapi lemah terhadap peningkatan penyakit Leptospirosis.

Walaupun begitu, tikus sebagai pembawa bakteri Leptospira, membutuhkan kondisi lingkungan yang hangat untuk hidup.

Sementara bakteri Leptospira bisa hidup di luar tubuh tikus selama 1-2 bulan.

Selain itu, dia juga meyakini bahwa suhu dan kelembaban udara punya hubungan yang kurang signifikan dengan penyakit yang berasal dari bakteri dari tikus (Rodent-borne disease), ketimbang penyakit yang ditularkan oleh binatang seperti nyamuk dan lalat (Vector-borne diseases).

Di sisi lain, aspek curah hujan menunjukkan korelasi dengan kenaikan kasus penyakit Leptospirosis.

Lathifah menyatakan, selama musim hujan, tanah menjadi lembap dan menimbulkan banyak kubangan air.

Hal itu memungkinkan Leptospira untuk tumbuh secara optimal dan bertahan hidup hingga 1-2 bulan.

Lathifah pun menyarankan agar BMKG dan Dinas Kesehatan Bantul menyediakan informasi mengenai prediksi curah hujan disertai angka kasus Leptospirosis yang sudah terjadi.

Langkah ini sudah dilakukan di DKI Jakarta yang membentuk DBKlim (Sistem Informasi Demam Berdarah Dengue Berbasis Iklim).

Dengan demikian, masyarakat dapat diimbau untuk mawas diri lebih dini. (Tsalis)

Baca juga: Penyandang Disabilitas Jangan Takut Bermimpi Masuk UGM!