Bambang Hudayana Kembangkan Departemen Antropologi Sejak Mahasiswa

1676

Baca juga: Gerakan Rimbawan dan Masyarakat Peduli Hutan (GRMPH) Mulai Menggeliat, Ini Agendanya

Keliling Indonesia Berkat Berkarier di Antropologi

Kegiatan field work menjadi tradisi bagi mahasiswa Antroplogi Budaya, bahkan sejak Bambang masih duduk di bangku kuliah.

Saat itu, Bambang dan teman seangkatannya baru belajar di sekitar Pulau Jawa saja.

Menikmati studi lapangan ke berbagai pulau di penjuru Indonesia baru dia rasakan ketika menjadi dosen.

“Begitu lulus dan diangkat menjadi dosen, terbukti bahwa lulusan Antropologi itu memang bekerja untuk memahami dan melihat keanekaragaman budaya secara mikroskopis. Lebih mendengarkan suara-suara dari arus bawah,” ungkap Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan Masyarakat Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) ini.

Diceritakan oleh Bambang, saat awal-awal menjadi dosen dirinya belajar keanekaragaman budaya daerah di seputaran Pulau Jawa, sampai akhirnya merambah ke seluruh pulau di Indonesia.

Sampai saat ini sudah 32 provinsi yang Bambang sambangi.

Baca juga: FKG UGM Tampil Beda di Kamis Pahing

Menikmati Profesinya dan Semangat Kembangkan Departeman

Bambang menempuh pendidikan masternya di Australian National University pada 1994 dan kembali ke Indonesia pada 1997.

Sepulangnya menempuh studi, Bambang kembali aktif mengajar dan ikut mendirikan Institute For Research and Empowerment (IRE) dan pernah menjadi direktur.

Dia kemudian menempuh studi lagi di prodi S3 Antropologi pada 2005 dan meraih gelar doktornya pada 2011.

Menjadi dosen bagi Bambang membuat dirinya terus memiliki kebutuhan untuk belajar, tetapi bisa dinikmati hasilnya.

Apalagi jika mahasiswa bisa berhasil dan mengapresiasi dosennya, hal tersebut menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Bambang.

“Kalau dukanya, jadi dosen harus nyambi-nyambi. Tetapi, itu kita syukuri karena bisa dapat rejeki yang lebih baik,” ujar dosen yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM tahun 2013-2016 ini.

Perjalanan karier Bambang tak terlepas dari Prof. Koentjaraningrat, sosok yang menginspirasinya selama ini.

Baca juga: Prof. Agnes Murdiati Usulkan Kacang-kacangan untuk Tingkatkan Ketahanan Pangan Nasional

Bambang menerangkan Koentjaraningrat sangat tekun menulis buku dan mengembangkan ilmu antropologi.

Dia pun tertarik mengikuti jejaknya.

“Selain itu, bersama Prof. Michael R. Dove dari Yale University, Amerika, Saya mulai sadar bahwa bekerja harus benar-benar profesional. Ada lagi mantan pembimbing S2 Saya, beliau dicintai banyak mahasiswa. Beliau terus membangun komunitas, itu membuat Saya sadar bahwa hidup tidak boleh pragmatis,” ujarnya.

Kini selain mengajar dan menjadi Ketua Departemen Antropologi Budaya, Bambang masih aktif sebagai peneliti di IRE dan PSPK UGM.

Bekerja, berkarya, berdharma, dan berbagi bersama selalu menjadi motto hidup Bambang selama ini.

Bekerja, bagi Bambang, yakni melakukan aktivitas yang positif untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain, sementara erkarya untuk menghasilkan inovasi yang bernilai lebih.

“Berdharma artinya menyumbangkan sesuatu yang bernilai untuk orang lain yang membutuhkan, serta berbagi pada orang lain, yang berarti tidak hidup dalam egosentrisme,” pungkasnya. (Kinanthi)

Baca juga: Selain Rawan Diselingkuhi, Berikut Dampak Negatif Pernikahan Anak