Candu Masyarakat pada Uang Elektronik, Good Life atau Happines?

1064

Baca juga: Menyikapi Guncangan Ekonomi Digital di Dunia Keuangan dan Pasar Modal

“Biasanya buat pesan ojol, kirim barang, dan buat beli makan berharap dapat cashback gitu deh,” ungkap QA (24), seorang pekerja di Yogyakarta.

Senada dengan UA (24) yang bekerja di Bandung, dia rutin isi saldo dompet digital setiap bulan sebesar Rp300.000.

“Aku lebih banyak nyimpen uang di dompet digital dari pada di dompet fisik. Apalagi di sini banyak merchant yang ngasih cashback,” jelas UA.

Lain tempat, IR (24) seorang pekerja perusahaan startup sengaja memanfaatkan uang elektronik untuk kebutuhan transportasi, meskipun dirinya sudah memiliki kendaraan sendiri.

“Biasanya top up untuk beli makanan dan transport kalau lagi malas bawa motor,” jelasnya.

Satu di antara pekerja muda di atas menyadari bahwa penggunaan uang elektronik ini berpotensi menjadi candu dan mendorong perilaku impulsif dalam berbelanja.

“Sengaja ngisi maksimal Rp100.000 biar nggak ‘khilaf’,” jelas BD, seorang pekerja paruh waktu di Yogyakarta.

Baca juga: Negara Perlu Bangun Tradisi Membuat Database di Era Digital

Hadirnya uang elektronik tidak hanya memberikan kemudahan, tetapi juga berbagai keuntungan lainnya seperti cashback mulai 20-50 persen per transaksi.

Gencarnya promo digital payment ini juga yang membuat masyarakat mulai beralih dari uang tunai ke uang elektronik.

Meskipun belum masif di Indonesia, 5 di antara 15 pekerja muda tersebut mengaku menyimpan uang di dompet digital lebih banyak daripada di dompet fisiknya.

Kultur Akselerasi dalam Transformasi di Era Digital

Salah seorang dosen Departemen Sosiologi, Sidiq Hari Madya (29) berpendapat, ada transformasi besar di era digital terutama pada aspek sosial.

Mulai dari kultur berkomunikasi hingga kultur menikmati pengalaman hidup.

Bisa dikatakan juga, terjadi perubahan baru yang belum pernah ada di era sebelumnya.

Sidiq mencontohkan kultur akselerasi. Ada banyak varian dari kultur tersebut, beberapa di antaranya budaya instan dan budaya kedangkalan berpikir.

Baca juga: Wujudkan Smartcity, Pakar UGM: Masyarakat Perlu Literasi Digital