KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Untuk meningkatkan kolektivitas kelompok tani, dibutuhkan pengembangan sistem komunitas.
Dijelaskan oleh Alia Bihrajihant Raya, S.P., M.P., Ph.D, dosen Fakultas Pertanian UGM, perkembangan kelompok tani stagnan karena kelompok tani tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka.
Banyak kelompok tani yang berkembang, tetapi bagaimana dengan efektivitasnya?
Merujuk dari beberapa penelitian, Alia menyebutkan, banyaknya kelompok tani, karena para petani ingin menyerap subsidi dari pemerintah.
Dalam penelitiannya yang berjudul Jaringan Komunikasi Sosial dalam Kelompok Tani di tahun 2015, Alia berusaha mengaitkan kinerja kelompok tani dengan kegiatan kolektif mereka, khususnya kelompok tani di wilayah pesisir Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulonprogo.
Dengan jaringan komunikasi, Alia menemukan bahwa kelompok-kelompok tani ini memiliki budaya yang berbeda.
Terdapat dua tipe kelompok tani berdasarkan jaringan komunikasinya, yaitu kelompok terpusat dan kelompok terbuka.
Baca juga: Intip Torpedo Rusia di Museum Bahari Jogja
Dua kelompok tani yang dia temui di Kulonprogo sebetulnya saling bekerja sama dan sama-sama berhasil.
Namun, setelah ditelusuri keduanya mempunyai jaringan komunikasi yang berbeda.
Dalam bekerja sama, kelompok terpusat mampu mengadopsi inovasi-inovasi terkait teknologi dari kelompok terbuka.
Sedangakan kelompok terbuka belajar dari kelompok terpusat mengenai kolektivitas pemasaran.
“Ada yang jaringan komunikasinya terpusat, kolektivitas sangat tinggi, semua orang akan mendapatkan informasi yang sama. Dan ada juga kelompok tani yang membuka akses informasi secara terbuka, mereka tidak terpusat, sehingga mereka bisa mendapatkan informasi dari luar,” ujarnya.
Alia menjelaskan, masing-masing memiliki keunggulan.
Dalam kelompok terpusat, bila mereka menemukan inovasi baru dan itu telah dibuktikan keberhasilannya oleh ketua kelompok, maka anggota lain akan menerapkan.
Baca juga: Agrosociopreneur Jalan Terang untuk Kemajuan Pertanian dan Ketahanan Pangan