Soal Kerusuhan Papua, Gugus Tugas Papua UGM Rekomendasikan Enam Hal Ini

606
Para akademisi UGM, tokoh Papua dan Papua Barat berkumpul menyikapi kerusuhan yang terjadi di Papua belakangan ini. Enam rekomendasi kebijakan ini harapannya bisa mendorong adanya perhatian yang serius dari pemerintah dan komitmen bersama untuk menjaga keutuhan NKRI. Foto: GTP UGM
Para akademisi UGM, tokoh Papua dan Papua Barat berkumpul menyikapi kerusuhan yang terjadi di Papua belakangan ini. Enam rekomendasi kebijakan ini harapannya bisa mendorong adanya perhatian yang serius dari pemerintah dan komitmen bersama untuk menjaga keutuhan NKRI. Foto: GTP UGM

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Sejak tanggal 19 Agustus lalu, telah terjadi aksi massa di beberapa kota dan wilayah kabupaten di Papua dan Papua Barat.

Aksi ini kemudian berujung pada tindak kekerasan, baik perusakan, pembakaran, hingga pembunuhan yang telah banyak menelan korban jiwa dan harta.

Peristiwa tersebut memberikan dampak sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang luas, mulai dari tingkat lokal hingga nasional.

Hal tersebut dibahas dalam kegiatan Papua Strategic Policy Forum yang dilaksanakan oleh Gugus Tugas Papua (GTP) di UGM, pada Senin (30/9/2019) lalu, yang dihadiri oleh 35 peserta.

Selain para akademisi UGM, forum ini dihadiri oleh para tokoh dari Provinsi Papua dan Papua Barat, yakni Wakil Gubernur, Bupati, Pejabat Pemda, dan tokoh perempuan.

Baca juga: KAGAMA Membangun Papua Sejak 1982

Dijelaskan bahwa, kerusuhan yang terjadi di Manokwari, Sorong, Fakfak, Wamena, dan kota-kota lain di Papua, merupakan aksi yang terencana dan sistematis, bukan aksi spontan masyarakat Papua yang selama ini dikenal baik.

Walaupun demikian, ada berbagai kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang harus diperhatikan.

Bambang Purwoko, SIP., MA., selaku ketua GTP memaparkan pokok-pokok pemikiran yang dihasilkan dari forum ini.

Stigma Hingga Diskriminasi

Sampai saat ini masih ada stigma negatif terhadap Orang Asli Papua (OAP) dan sikap rasis yang tidak hanya dilakukan oleh masyarakat di luar Papua, tetapi juga negara lewat berbagai kebijakan yang tidak kompatibel dengan konteks masyarakat lokal Papua.

OAP di wilayahnya sendiri juga kehilangan kesempatan mendapatkan pekerjaan dan aksesibilitas terhadap sumber-sumber ekonomi lokal.

Baca juga: Cerita Bambang Purwoko Mendidik dan Tinggal Bersama Anak-anak Papua