Cerita Penduduk dari Daerah yang Tidak Mendapat Subsidi BBM

317
Menurut Rimawan, meskipun harga BBM sampai Rp50.000, warga NTT tetap bangga menjadi bagian dari Negara Kesatuan Kepulauan Republik Indonesia (NKKRI). Foto: Taufiq
Menurut Rimawan, meskipun harga BBM sampai Rp50.000, warga NTT tetap bangga menjadi bagian dari Negara Kesatuan Kepulauan Republik Indonesia (NKKRI). Foto: Taufiq

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) setiap beberapa tahun tertentu selalu mengalami lonjakan.

Meskipun menjadi persoalan yang kerap dihadapi, masyarakat belum juga terbiasa dengan kenaikan harga BBM.

Berbagai aksi protes sering dilakukan, baik melalui demonstrasi maupun lewat berbagai tulisan di media.

Aksi protes tersebut lebih banyak membahas tentang keinginan masyarakat agar pemerintah menyubsidi BBM

Salah seorang ekonom UGM, Rimawan Pradiptyo, S.E., M.Sc., Ph.D (49 tahun), berkutat dengan isu subsidi BBM mulai 2011 hingga 2014.

Baca juga: Cara Membangun Perekonomian Desa Menurut Para Pakar

Menurutnya, subsidi bukan komoditas. Tidak ada teori ekonomi yang berbicara hal tersebut.

“Basisnya dari by name by address. Dampaknya 300 triliun kita bakar setiap tahun. Masyarakat juga tak menyadari dan bersikap tenang-tenang saja. Ketika itu subsidi diturunkan, kemudian ada demo, orang-orang yang berdemo itu sebetulnya adalah orang-orang yang diuntungkan dari subsidi BBM tersebut,” ujar Rimawan kepada KAGAMA, belum lama ini di ruang kerjanya.

Ia mengatakan, penduduk yang berdemo hanya berasal dari dua daerah, yaitu Jawa dan Sulawesi Selatan.

BBM Mahal, Tetap Bangga Jadi Warga NKRI

Diceritakan oleh Rimawan, ia bersama rekannya pernah membawa isu ini dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) di NTT pada 2013 an.

Ketika acara belum dimulai, pihaknya sudah mendapat kritik dari beberapa Non Government Organization (NGO) yang hadir dalam FGD tersebut.

Mereka mempertanyakan keperluan Rimawan dan rekannya mengadakan FGD yang membahas isu subsidi BBM.

Padahal Rimawan dan rekannya merupakan orang Jawa yang diuntungkan karena subsidi BBM tersebut.

Warga NTT tersebut lantas berkata, “Ketika itu harga premium Rp4.500,00, di Jawa BBM baru naik Rp1.000 saja sudah demo. Sedangkan beberapa tempat di NTT, saat pasokannya sedang sulit, harga BBM bersubsidi bisa mencapai Rp50.000 dan warga NTT tidak pernah demo,” ungkap Rimawan menceritakan kembali pengalamannya berdiskusi dengan warga NTT.

Baca juga: Beberapa Pekerjaan Lulusan Ilmu Ekonomi UGM

Sejak saat itu, Rimawan merasa malu dan hanya bisa meminta maaf pada warga NTT yang hadir dalam FGD.

“Mereka bilang, meskipun harga BBM sampai Rp50.000,00, warga NTT tetap bangga menjadi bagian dari Negara Kesatuan Kepulauan Republik Indonesia (NKKRI),” jelas Rimawan.

Penduduk Pulau Jawa Paling Diuntungkan dalam Pembangunan

Dari pengalaman itu, Rimawan berpendapat bahwa pembangunan Indonesia seolah-olah hanya terpusat di Jawa. Sedangkan pulau di luar Jawa hanya menumpang.

Rimawan bercerita, warga Kabupaten Natuna juga merasakan hal yang sama. Ketika harga BBM di Jawa Rp4.500,00 di Natuna harga BBM mencapai Rp27.000,00.

“Pernah tidak sebagai orang Jawa, kita berterima kasih dengan subsidi yang diberikan pemerintah setiap kali kita membeli BBM di SPBU? Tidak kan? Sedangkan harga BBM naik sedikit saja langsung demo,” jelas dosen yang sehari-harinya mengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM itu.

Baca juga: Hendri Saparini: Infrastruktur Digital untuk Ekonomi Kerakyatan