Manifesto Politik Pemuda Indonesia Pertama Dibuat di Belanda

6382

Baca juga: Sejarawan UGM Kritik Suma Oriental Karya Tome Pires

Butir ketiga menjelaskan, untuk mencapai hal tersebut bangsa Indonesia perlu bersatu menggapai cita-cita bersama.

“Persatuan dan kesatuan, itu conditio sie quanon, persyaratan mutlak menuju kemerdekaan dan nasionalisme,” ujar Sartono.

Menurutnya manifesto politik tersebut sangat penting bagi pergerakan nasional sampai tahun 1945.

Manifesto politik tersebut menurutnya lebih mendasar dari sumpah pemuda di tahun 1928, tiga tahun setelahnya.

Cikal Bakal Modernisasi Budaya Politik

Sartono menjelaskan, dengan adanya manifesto politik tersebut menjadi titik awal dimulainya modernisasi budaya politik Indonesia.

Sebelumnya, menurut Sartono bangsa Indonesia hanya mengenal feodalisme kerajaan, sehingga manifesto politik tersebut merupakan tonggak awal budaya politik yang menuju demokrasi.

Para tokoh di balik terwujudnya manifesto politik tersebut diantaranya yaitu M. Hatta, Ali Sastroamijoyo, Budiman, Sunaryo, dan Widagdo.

Mereka adalah mahasiswa Indonesia yang kala itu menempuh pendidikan di Belanda.

Sartono mengatakan, salah satu yang dapat dicontoh oleh generasi mahasiswa hari ini adalah ketika para pemuda pelopor manifesto politik tersebut pulang dari Belanda dan merealisasikan gagasan mereka.

Baca juga: Sejarawan UGM: Yogyakarta Benteng Perjuangan NKRI di Masa Revolusi

“Caranya waktu itu ya menjadi pemimpin pergerakan nasional dengan hidup penuh kesulitan dari penjara ke penjara. Mereka tidak melakukan terobosan untuk hidup enak dengan membantu kolonial,” tegas Sartono.

Menurut Sartono kala itu yang paling mendasar dan penting diwujudkan adalah persatuan menuju nasionalisme.

Kondisi yang menjamin adanya jalan menuju kesejahteraan adalah persatuan.

Narasi persatuan saat itu dihadapkan pada politik kolonial yang memecah belah.

“Saya menentang pada generasi muda yang menyatakan bahwa nasionalisme tidak relevan lagi. Nasionalisme itu belum sempurna, perlu dikonsolidasikan lagi. Hal itu untuk menghadapi globalisasi yang dahsyat ini nasionalosme perlu kita pulihkan. Masak kita terus menyerah saja,” ungkap Sartono kala itu.

Baca juga: Dari Rendra Hingga Sapardi: Enam Sastrawan Generasi Lama yang Kuliah di UGM

Di tahun-tahun menjelang reformasi tersebut Sartono menanggapi sejumlah gerakan mahasiswa yang muncul kala itu.

Ia mengungkapkan gejala-gejala penyaluran idealisme oleh pemuda tidak bisa dihambat oleh pemerintah.

Dengan kemajuan yang ada, ia menilai baik di kota maupun desa, pengetahuan dan informasi semakin mudah didapat.

“Orang mulai berpikir kritis. Saya sering mendengar mahasiswa sekarang apatis, tidak punya wajah. Itu Saya tidak sepakat. Buktinya mahasiswa mulai hidup idealisme dan pemikirannya,” pungkas Sartono kala itu.

Perkataan Sartono tersebut pada akhirnya terbukti.

Melalui berbagai gerakan dan aksi demonstrasi, setahun setelah tulisan tersebut dimuat, reformasi dapat digulirkan dengan tumbangnya penguasa Orde Baru. (Thovan)

Baca juga: Menjadi Bagian Kekuasaan, Ujian Besar Untuk Kaum Intelektual