Badrus Shaleh : Antropologi Sastra Masih Wacana Baru

331

KAGAMA.CO, SUMENEP – Antropologi sastra bisa dikatakan wacana baru dalam Ilmu Antropologi. Banyak antropolog kurang tertarik studi ini. Di Indonesia, kemunculannya justru lahir dari akademisi dan pengamat ilmu sastra.

Alumnus Prodi Antropologi FIB UGM Badrus Shaleh (31) mengilustrasikan faktor minimnya kajian antropologi sastra. Pertama, antropolog kurang tertarik, pertimbangannya mungkin ada kajian yang lebih penting. Kedua, persoalan kerumitan dalam studi serumpun humaniora.

Dikatakannya, antropologi sastra di Indonesia digaungkan dua guru besar sastra, I Nyoman Kuta Ratna dan Suwardi Endraswara. Karenanya, dia memanfaatkan peluang kelangkaan studi ini untuk menulis tesis berperspektif antropologi sastra.

Belakangan, tesis Badrus Shaleh, sastrawan dengan nama pena Raedu Basha, yang berjudul “Sastrawan Santri: Studi Etnografis Sastra di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep Madura” pun meraih Nusantara Academic Award 2019. Penghargaan diselenggarakan Nusantara Institute, Nusantara Kita Foundation, dan Bakti BCA.

“Di Antropologi Sastra belum pernah ada yang masuk rimba kajian ini. Saya masuk sebagai penghuni pertama, meneliti santri pesantren yang cukup mewarnai jagad kesusastraan nasional,” ungkapnya.

Raedu mengaku sempat mengalami kesulitan pada persoalan teori antropologi sastra yang pas dengan kajiannya, terutama masalah metode dan teori tentang riset pengarang sastra. Aspek tersebut belum ada dan baginya sebagai rimba baru tak bertuan dalam antropologi. (Toto)