Segudang Dimensi Sindung Tjahyadi, Sempat Disangka Ingin Jadi Dukun

2883

Sindung dan Wayang

Semenjak kecil Sindung memang dekat dengan kesenian wayang.

Di usaianya yang tak lagi muda, ketertarikannya terhadap wayang justru semakin besar.

Tahun 2005 merupakan titik balik bagi kehidupan Sindung.

Di tahun tersebut ia memutuskan berhenti merokok dan mulai mengoleksi wayang kulit.

Kedekatannya dengan banyak seniman serta pegiat wayang di Jogja turut membawanya hanyut dalam seluk beluk perwayangan.

“Kata orang wayang itu bikin kecanduan. Benar itu, tak terasa wayang yang saya miliki sudah banyak sekali, lebih dari dua kotak, ya sekitar 150-200 buah kira-kira,” kata sindung sumringah.

Membahas wayang membuat Sindung lebih semangat.

Di kantor yang telah sepi itu ia menceritakan dengan sungguh-sungguh kecintaannya pada dunia pewayangan.

Menurutnya, wayang yang ia miliki sekarang sudah lebih dari cukup untuk sebuah pementasan.

Bahkan, Unit Kesenian Jawa Gaya Surakarta (UKJGS), salah satu UKM yang ia bina di UGM sering meminjam wayang-wayang koleksinya untuk dipakai dalam peruntunjukan.

 

Wayang Gajah Mada

Di tengah-tengah obrolan kami, Sindung tiba-tiba menyalakan komputer jinjingnya dan membuka laman Facebook yang ia kelola.

Nama akun tersebut bernama Bima Karangjati, akun khusus yang ia gunakan untuk mengunggah berbagai hal tentang wayang.

Di salah satu postingan ia menjelaskan jika gambar wayang tersebut berbeda.

Dalam gambar itu terdapat sosok wayang yang memyerupai tokoh Bima lengkap dengan senjata Kuku Pancanaka di tangannya, namun memakai ornamen-ornamen yang berbeda.

Sindung menyebutnya sebagai Wayang Gajah Mada.

Wayang Gajah Mada adalah salah satu kreasi dari Sindung dan rekan-rekannya.

Keberadaan Wayang Gajah Mada sengaja Sindung kembangkan sebagai salah satu penanda umur UGM yang tahun ini menginjak 70 tahun.

“Obrolannya sudah dimulai sejak 2016, bareng orang-orang kampus yang juga seneng wayang. Ini kita buat swadaya saja, ya patungan biar cepet. Ada saya, Mas Rudi dari S3 Seni Pertunjukan, Bimo Slamet Raharjo dosen FIB, dan untuk eksekusi ada Ir. Sarwani serta beberapa lainnya. Kami biasanya menyebut diri kami sebagai komunitas belakang kelir, yang waktu ada pertunjukan wayang di Balairung nontonnya dari belakang layar,” jelas Sindung.

Menurutnya, ada tiga aspek dari wayang Gajah Mada yang mereka kembangkan, yaitu wujud atau bentuk wayang, kisah, serta bentuk pagelaran wayangnya.

Sindung boleh berbangga hati, kini jerih payahnya mewujudkan Wayang Gajah Mada mulai menuai hasil.

Dari keseluruhan tokoh wayang yang direncanakan, sudah ada 50 tokoh yang berhasil dibuat.

Ia berharap dengan sedikit penambahan beberapa tokoh lagi, wayang Gajah Mada akan siap dipentaskan.

Wayang Gajah Mada tidak dibuat Sindung dengan sembarangan.

Untuk refrensi tokoh dan cerita ia mengambil dari hasil penelitian arkeolog UI, Agus Aris Munandar.

Untuk wujud wayang Gadjah Mada, Sindung mengambil sosok Bima sebagai dasar.

Bukan tanpa alasan, ia mendasarkannya pada fakta bahwa sosok Gajah Mada di banyak tempat disimbolkan sebagai Bima.

“Untuk penamaan kita ada ahli dari Kediri. Dia guru Kimia, tapi jangan salah ia salah satu ahli bahasa Sansekerta namanya Purwanto Heri. Harapannya wayang ini jadi salah satu media pengajaran nilai-nilai kegajahmadaan,” ujar Sindung.

Sindung terus berupaya secara mandiri mempromosikan wayang Gajah Mada.

Melalui media sosial ia unggah satu per satu gambar wayang yang telah jadi.

Baca juga: Notonagoro, Sang Pelopor Filsafat Pancasila

Menurutnya, respon dari komunitas pewayangan sangat beragam.

“Paling ada perdebatan soal tafsir, misal kok Ranggalawe kok kecil, nah itu biasa. Bagi saya wayang itu bukan wujud fisik saja, tapi wujud karakternya jauh lebih penting. Ada satu idiom yang saya yakin, yaitu tak ada tradisi tanpa kreasi,” paparnya dengan serius.

Ketika disinggung mengenai minatnya untuk belajar menjadi dalang, Sindung hanya tersipu, menurutnya ia sekarang belum berniat untuk menjadi dalang.

“Belajar pedalangan itu gak boleh disambi ya. Harus fokus, mungkin nanti kalau sudah pensiun” ucapnya yakin.

Hari ini Sindung dikenal sebagai bapaknya UKM di UGM.

Jabatannya kini adalah Kasubdit Organisasi dan Fasilitas Mahasiswa yang turut mengelola puluhan UKM di UGM.

Ia meyakini semua jabatan yang ia emban hari ini suatu saat harus dielapas dan diurus oleh mereka yang lebih muda.

Selanjutnya, setelah lepas dari jabatan-jabatan tersebut, Sindung ingin terlebih dahulu fokus membantu pengembangan keilmuan filsafat di fakultasnya sebelum akhirnya pensiun. (Thovan)

Baca juga: Perjalanan Sukses Purwanto dan Tiga Falsafah Hidupnya