Segudang Dimensi Sindung Tjahyadi, Sempat Disangka Ingin Jadi Dukun

2883

Mengapa Filsafat?

Sindung, seperti kebanyakan mahasiswa Filsafat lainnya, harus menerima banyak pertanyaan dari orang terdekatnya ketika memutuskan belajar filsafat.

Kebanyakan pertanyaan ditujukan karena ilmu Filsafat masih asing dan dianggap dekat dengan klenik oleh masyarakat waktu itu.

Sindung bahkan sempat disangka ingin menjadi dukun karena keputusannya tersebut.

Atas semua pertanyaan dan tuduhan tersebut Sindung mengaku menjawabnya dengan santai.

“Saya jelaskan pelan-pelan saja. Justru Filsafat mengajarkan untuk berpikir rasional dan menjauhi cara-cara berpikir yang irasional, kok begitu malah dituduh mau jadi dukun. Toh di Filsafat kita tidak diajari untuk menghakimi,” ujar Sindung diiringi tawa kecilnya.

Sebelum memutuskan belajar di Jurusan Filsafat UGM, Sindung memang sudah berkenalan dengan filaafat melalui buku-buku Endang Saifuddin Ashari yang ia pinjam dari perpustakaan SMA.

Ia mengaku selama kuliah tidak terlalu memikirkan akan bekerja di mana nantinya setelah lulus.

Baca juga: Berbagai Profesi Menarik Lulusan Jurusan Filsafat

Justru ia sangat menikmati masa-masa kuliahnya.

Namun ia juga tak menampik, beberapa  rekannya memutuskan melakukan tes masuk ulang di jurusan lain karena merasa susah mencari pekerjaan ketika lulus dari Filsafat.

“Waktu itu saya nikmati saja kuliahnya. Kalau pekerjaan saya mikirnya kalau gak ngajar mungkin jadi wartawan. Karena saat itu sudah terbiasa pegang kamera, hobi motret memang. Banyak yang tanya kok saya ke mana-mana bawa kamera, kerja di koran mana?” kenang Sindung.

Di Filsafat UGM Sindung mengambil konsentrasi di bidang kajian Filsafat Barat.

Menurutnya, kala itu hanya sedikit mahasiswa yang mengambil konsentrasi di sana karena kendala bahasa dan literatur.

Banyak teman seangkatannya yang lebih memilih kajian Filsafat Timur dan Agama.

Mengatasi kendala literatur, Sindung tak kehabisan akal.

Sering ia mencari buku hingga ke perpustakaan Kolese St. Ignatius – Kolsani yang terletak di Jalan Abu Bakar Ali.

Selain dari sana, dengan memanfaatkan jaringan pertemanan di warung kopi ia memperoleh berbagai bahan bacaan  filsafat dari mahasiswa UIN Sunan Kalijaga.

“Dulu dapat dari teman ngopi anak UIN. Saya sering cari buku di Kolese Abu Bakar Ali. Gak boleh di bawa pulang tapi boleh fotocopy per halaman. Mahasiswa yang datang ke sana itu anak filsafat, calon Romo, dan calon Kiai dari UIN,” ungkap Sindung diiringi tawanya.

Rumah Kedua

Sindung muda kala itu tak hanya aktif di perkuliahan namun juga berbagai kegiatan di Gelanggang Mahasiswa.

Baginya, Gelanggang sudah seperti rumah kedua.

Di sana ia mengikuti dua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), yaitu Hoki dan Pencak Silat Propatria.

Bahkan di UKM Hoki, kini dirinya menjabat sebagai dosen pembina harian.

Ia juga tercatat pernah bergabung menjadi anggota Badan Pertimbangan Mahasiswa (Senat Mahasiswa) dan turut aktif dalam forum diskusi serta advokasi.

Walaupun dekat dengan rekan-rekan gerakan mahasiswa kala itu, Sindung mengaku tak begitu tertarik untuk ikut di dalamnya.

Ia lebih memilih fokus menggeluti bidang olah raga dan seni.

Sesuatu yang telah akrab dengan dirinya semenjak kecil.

“Saya pernah ikut beberapa kali demo, forum diskusi juga. Bahkan dulu waktu teman-teman dipopori di Kusuma Negara saya ikut memantau dari dekat. Tapi kalau aktif di dalam kepengurusan gerakan mahasiswa saya tidak,” ujarnya.

Sindung lulus dari Fakultas Filsafat pada 1989.

Ia menempuh 6,3 tahun untuk mendapat gelar sarjana.

Baca juga: Dekan Filsafat UGM: Ilmu Sosial Profetik Memiliki Peluang Besar di Masa Depan

Pencapaiannya tersebut terhitung cepat waktu itu.

Namun, untuk segera lulus ia mengaku harus memilih fakum dari Gelanggang Mahasiswa di tahun 1988.

Sindung lulus setelah berhasil menyelesaikan skripsi mengenai pemikiran Alfred Jules Ayer, filsuf asal Inggris yang meninggal ketika ia tulis sebagai tugas akhir.

Berkat studinya tersebut, ia banyak memiliki buku karya Eyer.

Ia bahkan berani mengaku sebagai salah satu orang yang memiliki koleksi karya Ayer paling lengkap.

Setelah lulus, ia yang gemar mengoleksi buku merasa perlu membagi ilmu dan bahan bacaan yang ia miliki ke orang lain.

Oleh sebab itu, akhirnya ia memutuskan untuk mendaftar sebagai dosen di Fakultas Filsafat UGM.

Akhirnya ia diterima sebagai dosen dengan SK pengajar mata kuliah Filsafat Hukum.

Baginya itu sebuah takdir yang unik.

Dahulu ia ingin menjadi kriminolog namun cita-cita tersebut kandas.

Di sisi lain, kini ia memperoleh jabatan yang tidak jauh dari dunia hukum.

Wayang Gajah Mada adalah salah satu kreasi dari Sindung dan rekan-rekannya. Foto: Dwikoen
Wayang Gajah Mada adalah salah satu kreasi dari Sindung dan rekan-rekannya. Foto: Dwikoen

Penyapu Ranjau

Mengenang masa-masa awal menjadi dosen, Sindung mengumpamakan dirinya sebagai penyapu ranjau.

Sindung menyematkan julukan tersebut pada dirinya karena sering harus mengampu mata kuliah baru yang tak diambil oleh dosen lainnya.

Di kalangan keluarga besar Fakultas Filsafat, Sindung merupakan salah satu dosen yang cukup produktif menghasilkan berbagai tulisan di bidang Filsafat Ilmu, Filsafat Hukum, dan Kosmologi.

Selain bergiat sebagai dosen, ia juga kerap dipercaya mengambil bagian dari berbagai kegiatan universitas.

Salah satunya yaitu di tahun 1996, ia dipercaya sebagai Dosen Pembimbing Lapangan di KKN UGM.

Jabatan itu ia emban selama 3 semester sebelum akhirnya dipercaya menduduki posisi Kordinator Wilayah KKN yang juga ia jabat selama 3 semester.

Tak berhenti di sana, ketertariaknnya di dunia penelitian dan akademik, membuat ia dipercaya memimpin Pusat Studi Pancasila dari tahun 2010 hingga 2012.

Kesibukannya di fakultas dan pusat studi ternyata tak menghentikan minatnya di bidang seni dan budaya.

Baca juga: Suporter Philoscontong: Kritik Atlet Demi Kemajuan Olahraga di Fakultas Filsafat

Di tahun yang sama Sindung juga dipercaya sebagai pengurus bidang dokumentasi dan publikasi di PKKH UGM sampai tahun 2013.

Ternyata berkecimpung di PKKH membuatnya semakin banyak bersentuhan dengan rekan yang memiliki ketertarikan sama dalam bidang uri-uri budaya serta tradisi di Jogja.

Dari sana, akhirnya ia dipercaya menjadi Sekretaris Dewan Kebudayaan Provinsi Yogyakarta tahun 2014 – 2018.

Tidak heran jika ia sering nampak mengisi acara-acara di kompleks Kepatihan Yogyakarta mulai dari diskusi, pementasan, hingga somposium.

Selain bidang akademik dan jabatan struktural, bakatnya dalam seni dan olah raga memang tak perlu diragukan lagi.

Hingga usianya yang menginjak 55 tahun, sindung masih aktif di komunitas Jemparingan dan Ketoprak UGM.

Jemparingan adalah olah raga panahan tradisional yang menggunakan alat panah dari bambu dengan metode memanah bersila.

Kegiatan itu ia lakoni bersama komunitasnya di sekitar lembah UGM setiap Sabtu pagi.