Pembatasan dan Pembedaan Hak Pilih dalam Pemilu

384
Pengaturan hak pilih dalam undang-undang Pemilu masih terjebak pada pembatasan dan pembedaan yang bersifat administratif. Foto: kbr.id
Pengaturan hak pilih dalam undang-undang Pemilu masih terjebak pada pembatasan dan pembedaan yang bersifat administratif. Foto: kbr.id

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Akhir-akhir ini, sebelum pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (27/6/2019), media kita tersedot perhatiannya oleh sidang sengketa yang digelar di MK.

Hal itu tak mengherankan, karena MK memang sebagai satu-satunya wadah yang digunakan dalam pengajuan gugatan hasil Pemilu.

Namun sejenak kita lupakan keramaian sidang MK tersebut.

Peraturan dan Pemilu kita memang harus diakui belum sempurna.

Guna memperbaikinya, kita perlu banyak mengkaji aturan-aturan yang diberlakukan di sana.

Baca juga:

UGM Teliti Penyebab Kematian Petugas Pemilu

Soal Pemilu, Bupati Kutim: Kita Percayakan dan Hormati Keputusan KPU

Salah satunya mengenai pembatasan dan pembedaan hak pilih dalam Pemilu.

Menurut Khairul Fahmi, Doktor Ilmu Hukum UGM, secara normatif, pembatasan hak pilih tidak bertentangan.

Hal tersebut bahkan diperbolehkan sesuai ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945.

Ia juga menuliskan bahwa kebijakan hukum pembatasan dan pembedaan hak pilih telah diadopsi dalam semua undang-undang Pemilu yang pernah berlaku dengan sejumlah perbedaan sesuai zaman masing-masing.

“Hanya saja, berbagai pembatasan yang ada mulai diperlonggar melalui proses pengujian undang-undang,” tulisnya dalam disertasinya yang berjudul Pembatasan dan Pembedaan Hak Pilih dalam Mewujudkan Pemilihan Umum yang Adil dan Berintegritas (2019).

Dalam perjalanannya, pelonggaran syarat hak pilih tersebut dilakukan hampir tanpa batas, sehingga turut berdampak terhadap terciderainya penyelenggaraan Pemilu yang adil dan berintegritas.

Serangkaian penelitian yang dilakukannya terkait pembatasa dan pembedaan hak pilih menghasilkan beberapa kesimpulan.

Pertama, menurutnya pengaturan hak pilih dalam undang-undang Pemilu masih terjebak pada pembatasan dan pembedaan yang bersifat administratif.

Lebih jauh, sekalipun terdapat perubahan karakter kebijakan hukum dari periode ke periode, namun pembentuk undang-undang lebih mengedepankan pertimbangan pragmatis.

Pada saat yang sama, pengaturan hak pilih juga belum dibangun dalam sebuah desain yang jelas dan komprehensif.

Baca juga:

Syawalan Kagama Virtual, Mohon Maaf Lahir Batin Online dan Offline

Peran Media Sosial dalam Demokrasi Indonesia

Kedua, untuk beberapa aspek, ia menyebut MK melalui putusan pengujian undang-undang telah berperan untuk menjaga agar berbagai pembatasan hak pilih tidak dilakukan secara berlebihan dan tidak proporsional.

“Hanya saja, MK dalam berbagai pertimbangannya lebih mengedepankan sisi perlindungan hak-hak individu dibanding filosofi pembatasan yang ditujukan untuk menjaga kualitas dan integritas Pemilu,” tulisnya.

MK cenderung terjebak pada pertimbangan- pertimbangan formal normatif semata, sehingga nilai dan moralitas yang hendak diayomi dari setiap kebijakan pembatasan hak pilih tidak terlindungi.

Hendaknya pemerintah membuka ruang seluasnya bagi penggunaan hak memilih, memperketat ruang penggunaan hak dipilih, dan kesetaraan pembatasan dan proporsionalitas pembedaan,” tulis Fahmi. (Thovan)