Petualangan Baiquni Ingin Wujudkan Pendidikan yang Berdaulat

3373
Saat remaja, Baiquni sangat gemar berpetualang bersama teman-temannya. Foto: Baiquni
Saat remaja, Baiquni sangat gemar berpetualang bersama teman-temannya. Foto: Baiquni

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Prof. Dr. Muhammad Baiquni, M.A. lahir di Surakarta, 27 Maret 1963.

Semasa remaja, Baiquni sangat gemar berpetualang bersama teman-temannya.

“Sebelum masuk UGM, saya sudah suka naik gunung, bermain ke laut, dan alam lainnya,” kisahnya kepada KAGAMA, belum lama ini.

Hobi yang digeluti sedari muda ini membuatnya mencintai alam.

Memutuskan melanjutkan studi di Fakultas Geografi UGM adalah salah satu bentuk dari kecintaan dan keingintahuannya pada alam dan budaya.

Tidak berhenti di akademik saja, Baiquni menyalurkan hobinya di Mapagama (Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Gadjah Mada) dan termasuk angkatan awal di sana.

“Tahun 1985 saya menjadi Ketua Mapagama. Berpetualang adalah panggilan sejak muda saya,” tambahnya.

Geografi mempelajari tentang lingkungan hidup dan manusia.

Oleh karena itu, ilmu geografi sangatlah luas untuk dipelajari.

Setelah menyelesaikan pendidikan sarjananya, Baiquni melanjutkan program master di Institute of Social Studies, Den Haag, The Netherlands tentang pembangunan regional pada 1994.

Selanjutnya, pada 2006, Baiquni berhasil menyelesaikan Doktor Ilmu Geografi (Dr.) Program Sandwich di Universitas Gadjah Mada dan Utrecht UniversityThe Netherlands dan meneliti tentang strategi penghidupan masyarakat desa di masa kritis 1997-2003.

Baiquni mengembangkan Sekolah Rakyat BERDAULAT. Foto: Istimewa
Baiquni mengembangkan Sekolah Rakyat BERDAULAT. Foto: Istimewa

Berdaulat dalam Pariwisata

Terkait pembangunan wilayah, Baiquni melihat pembangunan di Yogyakarta memerlukan inovasi dan kreativitas yang terus menerus, karena masih ada kemiskinan dan kesenjangan.

“Jogja sudah bagus, karena memadukan pendidikan, kebudayan dan pariwisata di dalam pembangunannya,” terangnya.

Menurutnya, inovasi dan kreativitas dapat digerakkan bersama kaum muda tidak hanya di kota, tapi juga di desa dengan adanya desa wisata, desa budaya, dan desa agroindustri di Yogyakarta sesuai dengan karakternya.

Adanya keunggulan, amenitas, dan otentik keaslian menjadi daya tarik pariwisata di Jogja.

Terkait tantangan pariwisata, lebih lanjut ia menjelaskan bagaimana pariwisata itu seharusnya berdaulat.

“Karena jika tidak berdaulat, bisa jadi neokolonialisme. Jika tidak dipelihara dengan kebijakan, maka nilai tambahnya bisa diambil oleh orang luar,” tandasnya.

Berdaulat dalam pariwisata ini dijelaskan dengan adanya keterlibatan dan sinergi dari rakyat, pemerintah dan pengusaha.

Bukan hanya soal jumlah uang devisa dan pertumbuhan perekonomian yang didapat, akan tetapi kemakmuran warga sekitar serta pelestarian alam dan budaya adalah hal yang penting.