‘Si Majnun’ Pakar Gunung Berapi Telah Tiada

1138

Merapi bukan satu-satunya gunung yang ia sambangi untuk diteliti. Genung Kelud, Krakatau hingga Rinjani juga pernah ia teliti.

Meneliti gunung berapi baginya merupakan kepuasan sendiri.

Mungkin semacam ikhtiar mengenal lebih dalam sang ‘kawan’ hidupnya itu.

Tentu saja selain itu, penelitian yang ia lakukan juga bisa membantu menerangkan ke khalayak mengenai fenomena di sekitaran gunung berapi, seperti letusan dan sebagainya.

“Misalnya saat erupsi Merapi 2010, kami bisa menyumbang pikiran dan menjadi bahan untuk decision making yang paling hulu ya.”

“Apalagi para ilmuwan itu harus terlibat dalam disaster risk reduction, maka sainsnya harus kuat. (Kami) Terlibat juga di ranah mitigasi.”

“Kita bekerja di balik layar, kami memberi hasil-hasil analisis kami,” jelas sosok yang sudah punya 11 cucu ini.

Prinsip yang selalu ia pegang dalam meneliti ialah ikhlas dan jujur.

Kejujuran baginya adalah hal mutlak yang harus dipegang setiap peneliti.

Sementara sebagai pribadi, dahulu ia selalu dipesani orang tuanya agar mencari rezeki bukan untuk kesenangan pribadi saja, melainkan harus untuk kebaikan.

Keterbukaan Informasi

Di usia senjanya, Kirbani masih aktif meneliti Merapi.

Ia berharap ke depan informasi dan data-data mengenai gunung berapi di seluruh dunia makin terbuka.

Namun, ia juga menyadari, keterbukaan informasi bisa juga menjadi hal yang negatif dan kontraproduktif.

Misalnya apabila keterbukaan tersebut dipakai para begundal untuk menyebar hoaks.

Penyebaran hoaks saat terjadi bencana di era teknologi informasi ini makin cepat dan tak terkendali.

Hoaks bisa membuat usaha mitigasi bencana menjadi terhambat, karena konsentrasi masyarakat akan terpecah.

Kirbani mewanti-wanti masyarakat agar tak mudah termakan hoaks tersebut.

Salah satu caranya ialah dengan tidak menyebar informasi mengenai bencana, apabila bukan berasal dari sumber yang punya kredibilitas terkait.

Ia juga punya harapan ke depan ada sistem counter-hoax yang baik untuk menangkal penyebaran hoaks.

“Nah ini anak-anak muda bisa memikirkan untuk membuat itu,” harapnya.

Di Fakultas MIPA UGM, kini ia pernah menjadi Ketua Tim Ad Hoc Disrupsi.

Salah satu yang telah dikembangkan ialah pembuatan virtual co-working space.

“Saya jadi yang paling tua di tim itu. Bekerja dengan yang muda-muda menjadi padu,” pungkasnya. (Fazrin)