Jual Beras Saat Kuliah

240
Ardhayadi Mitroadmodjo menikmati kehidupannya sebagai seorang mahasiswa. di UGM sambil berwirausaha. Foto : Fajar/KAGAMA
Ardhayadi Mitroadmodjo menikmati kehidupannya sebagai seorang mahasiswa. di UGM sambil berwirausaha. Foto : Fajar/KAGAMA

KAGAMA.CO, JAKARTA – Selepas lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) 4 Yogyakarta, Ardhayadi Mitroadmodjo melanjutkan pendidikan di Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Gadjah Mada tahun 1971.

Ia mengaku menikmati kehidupannya sebagai seorang mahasiswa. Pasalnya, dia bisa mendapatkan uang lewat wirausaha yang dilakoni bersama teman-temannya.

Tak hanya sekadar kuliah, Ardhayadi gesit dalam mencari uang semasa kuliah.

Dia aktif memberikan les privat matematika serta menjadi asisten dosen. Motivasinya, ia ingin memperoleh uang saku tambahan.

Kala berada di tingkat tiga, dia sempat mencoba berbisnis bersama teman-temannya dengan menjual beras dan gula.

Bermodal uang patungan, mereka membeli beras dan gula dari Klaten.

Mereka menjualnya pada konsumen rumah tangga dan mahasiswa yang tinggal di kos-kosan seputar kampus UGM.

Mereka menjualnya secara door to door menawarkan beras dan gula kepada calon pembeli.

“Barang yang hendak kami jual dititipkan dulu di rumah saya yang dekat dengan kampus UGM di Bulaksumur.”

“Konsumen pun kami beri alamat dan nomor telepon kos-kosan teman saya.”

“Jadi, apabila mereka mau pesan lagi, tinggal datang ke alamat kos-kosan teman atau menelpon,” ucap Ardhayadi kepada KAGAMA beberapa waktu lalu.

Sayang, bisnis yang dirancang Ardhayadi dan kawan-kawan tidak berjalan lama. “Hingga suatu hari kami dapat telepon dari salah satu dosen UGM.”

“Kami habis dimarahi dosen tersebut karena berjualan. Kami diberitahu, mahasiswa tak boleh dagang dan asrama mahasiswa tidak boleh dijadikan tempat untuk berjualan.”

“Akhirnya, kami menghentikan kegiatan jualan beras dan gula. Ya, itulah bisnis, kita mesti berani ambil risiko,” tutur mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia tersebut.

Walau gagal dalam berbisnis beras dan gula, hal itu tidak membuatnya kapok untuk mencoba berbisnis kembali.

Tahun 1975, Ardhayadi membuat usaha bimbingan tes bersama teman dari Fakultas Teknik, Arsitektur, dan Fisika UGM.

Nama bimbingan tes yang didirikan bersama temannya adalah Maskot Grup.

Awalnya, kegiatan bimbingan dilaksanakan di rumah Ardhayadi yang berada di perumahan dosen UGM.

“Karena kegiatannya di rumah dosen, orang mengira bimbingan tes milik dosen-dosen UGM.”

“Jadi banyak siswa yang mendaftar, termasuk mereka yang datang dari luar kota Yogyakarta,” ujar pria kelahiran 2 Februari 1952 itu.

Kala membuka usaha bimbingan tes ini, dia mengeluarkan uang sebesar Rp25 ribu sebagai modal.

Ia bekerja sama dengan dua orang temannya. Oleh karena jumlah siswa SMA yang ikut bimbingan tesnya kian bertambah, maka daya tampung di rumahnya sudah tidak mencukupi.

Ia pun putar otak hingga mendapat ide menyewa ruangan di Sekolah Dasar BOPKRI yang terletak tak jauh dari bundaran Bulaksumur.

Mereka menyewa empat ruangan kelas di situ. Kegiatan bimbingan tes dilakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah tersebut selesai.

Soalnya tenaga pengajar pun tak ada masalah. Ia merekrutnya dari kalangan mahasiswa UGM sendiri.

“Manajemen itu gampang, kami mencari mahasiswa pintar yang bisa mengajar. Mereka kami bayar mungkin kira-kira Rp7500,00 sehari.”

“Itu sudah besar jumlahnya pada masa itu. Mereka mengajar tiga kali saja sudah bisa bayar uang kuliah yang cuma Rp20 ribu setahun.”

Saya sendiri dari kegiatan bimbingan tes ini mampu mendapat pemasukan Rp40 ribu sebulan,” papar Ardhayadi.

Selain melakukan kegiatan bisnis bimbingan tes, dia terbilang beruntung karena mendapat beasiswa dari Caltex serta Departemen Perhubungan.

Dari Caltex, ia memperoleh Rp10 ribu per bulan. Lantas dari Departemen Perhubungan, dia diberi uang beasiswa Rp30 ribu sebulan.

Jadi, Ardhayadi meraih pendapatan lumayan besar bila dibandingkan dengan mahasiswa kebanyakan pada masa itu.

Berbekal uang lebih itu, dia bisa membantu membiayai kebutuhan sekolah tujuh orang adiknya.

Ia juga dapat menikmati makan sego pecel Bu Wiryo kegemarannya yang sudah terkenal sejak dulu serta memuaskan hobinya nonton film di bioskop.

“Saat itu letak SGPC Bu Wiryo dekat tempat penitipan sepeda, saya suka makan sego pecel, sup, dan jus tomat.”

“Sampai saat ini, bila saya ke Yogyakarta, saya pasti mampir makan di SGPC. Saya juga senang nonton film di bioskop Rahayu seminggu sekali.”

“Pulang nonton, saya beli martabak dekat Bethesda atau makan bakmoi Untung,” kenangnya. (Jos)