Maruti, dari Arsitektur ke Kajian Budaya dan Media

1182
Maruti AHS, nomor 2 dari kiri bersama teman-temanseangkatan KBM UGM 2016.(Foto: istimewa)
Maruti AHS, nomor 2 dari kiri bersama teman-temanseangkatan KBM UGM 2016.(Foto: istimewa)

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Prosesi wisuda selalu memiliki cerita unik. Tidak hanya kisah perjuangan anak-anak bangsa mencetak prestasi akademik, namun juga tentang keberanian mengambil keputusan dan menjalaninya  hingga berbuah manis.

Wisuda Program Pascasarjana Periode III Tahun Akademik 2018/2019 UGM hari ini (24/04/19) menjadi  yang paling dinantikan oleh Maruti Asmaul Husna Subagio. Perempuan yang akrab disapa Uti ini harus rela melepas kesempatan wisuda di dua  periode sebelumnya, karena pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan.

Hal lain yang kemudian membuat Uti akhirnya semangat untuk memilih wisuda periode April 2019 adalah agar bisa wisuda bersama teman-teman seangkatannya di Prodi Kajian Budaya dan Media (KBM) 2016, Sekolah Pascasarjana (SPS) UGM.  Sebenarya Uti telah menjalani yudisium bulan Juli 2018. Masa studinya diselesaikan kurang dari dua tahun.

“Kebetulan waktu wisuda periode Oktober (2018) dan Februari (2019) bersamaan dengan ada pekerjaan di luar kota yang tidak bisa ditinggalkan. Kalau April ini senangnya bisa wisuda bareng dengan teman-teman KBM,” terang Uti. Pada periode ini dari Prodi KBM ada dua mahasiswa program doktoral, dan 10 mahasiswa program magister yang diwisuda. Uti salah satunya.

Meski memiliki latar pendidikan Sarjana Teknik Arsitektur UGM, Uti memiliki ketertarikan besar pada bidang media. Bahkan selepas lulus S1, Uti lebih memilih bekerja sebagai wartawan di salah satu surat kabar nasioal.

Uti bersyukur karena ternyata kedua orang tuanya mendukung pilihannya. Keinginan Uti untuk memperdalam ilmu tentang media medorongnya melanjutkan pendidikan S2 di KBM melalui beasiswa yang diberikan oleh SPS UGM.

Mengangkat Tesis dengan tema New Media
Selama menjalani kuliah S2, Uti mengaku banyak tantatangan yang harus diatasi. Selain harus banyak membaca buku dan jurnal penelitian tentang Kajian Budaya dan Media yang merupakan bidang baru baginya, Uti juga harus membagi waktu antara kuliah dan kerja.

Belum lagi jarak dari rumah menuju kampus yang cukup jauh, karena Uti tinggal bersama neneknya di Bantul. Namun hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk mengangkat tema new media sebagai tugas akhir, tema yang diminatinya  sejak masih S1.

Uti mengangkat judul tesis “Prosumsi Penulis Konten dalam Platform News Agregat (Fenomena Digital Labor Penulis Konten dalam aplikasi UC News)”. Menurut Uti, kendala sekaligus kelebihan tentang tema new media adalah sangat cepat muncul penelitian dan teori baru. Sehingga seringkali dirinya belum selesai menelaah teori, sudah bermunculan teori baru yang tak kalah menarik.

Untuk bisa menyelesaian masa studi tepat waktu, Uti yang memiliki hobi membaca dan buka medsos ini memanfaatkan waktu sebaik mungin. Di semester empat, Ia memilih fokus  mengerjakan tesis di rumah. Dalam sehari Uti menargetkan menulis 5 – 10 halaman. Hasilnya, Ia bisa mendaftar sidang pendadaran sebelum masa studi dua tahunnya selesai.

Uti mengaku banyak kesan yang didapat selama kuliah di KBM, karena  tugas-tugas yang diberikan oleh dosen menurutnya terkadang unik dan kreatif.

“Di sini kami ditugasi mengkaji video klip, mengkritisi iklan di televisi atau meneliti film dan sinetron. Jadinya batas antara mengerjakan tugas dan mencari hiburan beda tipis,” kata Uti, tertawa.

Hal lain yang membuat Uti senang kuliah di KBM  karena program studi ini bersifat multidisipliner, sehinga memungkin mahasiswa belajar banyak hal dari berbagai disiplin ilmu. Termasuk aplikasi ilmu arsitektural.

Setelah wisuda, perempuan yang tahun ini berusia 25 tahun tersebut ingin menekuni bidang kajian media. Ia juga ingin terlibat dalam riset-riset di bidang kajian media sembari menjadi praktisi media.

“Saat ini banyak peluang pekerjaan di bidang itu,” ujar Uti optimis.

Kedepan, Uti ingin bisa berkontribusi dalam literasi masyarakat dengan membangun media edukasi, karena menurutnya sampai saat ini literasi masyarat di Indonesia khusunya literasi digital masih rendah.(Wempi)