Gender Fluidity, Upaya Transgender Merayakan Pesta Kebebasan

620
Ketidakstabilan dan inkonsistensi gender memberi ruang bagi munculnya variasi dan membebaskan individu dari konsep gender yang kaku.(Foto: ft.com)
Ketidakstabilan dan inkonsistensi gender memberi ruang bagi munculnya variasi dan membebaskan individu dari konsep gender yang kaku.(Foto: ft.com)

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Kita sering mendapat teguran dari orang lain karena sikap dan cara berpenampilan kita yang dianggap menyimpang. Seringkali hal ini didasari oleh konstruksi tentang laki-laki dan perempuan yang dibangun oleh masyarakat.

Wacana ini menjelaskan bahwa gaya rambut, cara berpakaian, dan atribut lain, menjadi indikator yang membedakan laki-laki dan perempuan. Jika ada seseorang tidak patuh dengan norma dan konstruksi yang ada, maka mereka dianggap menyimpang, memiliki kelainan, bahkan dianggap mengidap penyakit tertentu.

Pada umunya konstruksi dan norma ini berasal dari adat istiadat dan agama. Relasi-relasi sosial yang melibatkan konstruksi sosial, kultural, dan politik ini biasa disebut dengan gender.

Orang seringkali menyamakan gender dengan seks. Gender dibentuk oleh sebuah tatanan, artinya gender bisa mengikuti perubahan yang ada. Meskipun demikian, tidak sedikit orang yang menganggap gender sebagai sesuatu yang bersifat mapan dan kaku, sehingga sudah selayaknya kita mematuhi konstruksi yang ada.

Situasi ini memunculkan berbagai pertanyaan di benak Erinda Ayu Utami. Dalam tesisnya yang berjudul Gender Fluidity Sebagai Isu Kebebasan dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari tahun 2017, Erinda mempertanyakan apakah seseorang masih bisa disebut laki-laki, apabila tingkah laku dan sifatnya cenderung feminin?

Ia juga mempertanyakan, apakah seks merupakan unsur biologis yang harus diterima apa adanya? Apakah gender dan seks memiliki kesamaan dan kesesuaian satu sama lain? Apakah seseorang dianggap menyimpang jika ia tidak mematuhi norma yang ada?

Fenomena ‘penyimpangan’ gender dapat ditemukan dalam karya sastra Okky Madasari berupa novel yang berjudul Pasung Jiwa. Melalui karya sastra ini, Erinda menemukan adanya isu gender fluidity melalui pembebasan tubuh, jiwa, dan pikiran.