Indikasi Politik Uang dalam Pemilu 2019 Masih Cukup Besar

133

“Secara kognisi bilang politik uang tidak boleh tapi di level praktik yang bilang enggak boleh berkurang. Apakah pemilih kita bipolar alias berkepribadian ganda?” tambahnya.

Bagi Sukmajati, hal ini mungkin disebabkan adanya tekanan akan politik uang yang besar.

Sehingga mendorong masyarakat untuk sedikit berkompromi. Oleh sebab itu, baginya perlu untuk mengkampanyekan dan membangun strategi jangka panjang dalam menyelesaikan permasalahan ini.

Tidak hanya saat menjelang pemilu, hal ini juga perlu dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Mengingat untuk menumbuhkan budaya anti politik uang membutuhkan waktu jangka panjang.

“Riset Pilkades yang kami lakukan menunjukkan bahwa politik uang dianggap sebagai kewajaran, karena tidak ada regulasi desa yang melarang tentang politik uang,” tambah Sukmajati.

Fenomena ini semakin memperkuat bahwa potensi politik uang masih tinggi. Ia bahkan berkesimpulan bahwa semakin lokal pemilihannya, maka semakin tinggi politik uangnya.

Menurutnya justru, pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) politik uangnya lebih rendah, karena lebih menyerang politik identitas dan soal berita bohong.

Kaitannya politik uang dengan Pilpres, Mas’udi mengatakan bahwa yang terjadi justru komodivikasi permasalahan.

Politik uang yang dilakukan oleh paslon-paslon di pemilu daerah dikaitkan dan digunakan sebagai alat untuk memojokkan ke salah satu capres-cawapres.

Hal ini karena partai dari paslon tersebut berkoalisi untuk mendukung salah satu capres-cawapres.

“Kalau  kita perhatikan perbincangan ini muncul karena tertangkapnya politisi Golkar (pendukung paslon 01) jelas yang kemudain mengeksploitasi kubu 02,” terang Mas’udi.

Oleh sebab itu, Sukmajati menyarankan adanya pendidikan terkait politik uang untuk masuk dalam kurikulum.

Tepatnya dalam materi terkait anti korupsi. Pada penghujung acara, Mas’udi juga kembali menegaskan jika permasalahan ini cukup pelik dan perlu terus dikawal ke depan.

“Perbincangan politik uang sangat massif di media sosial dan terafirmasi dengan data lapangan.”

“Problem ini bukan hanya problem voters. Tapi lebih mengerikan adalah ketika politik uang telah menjadi kesepakatan antara elit dan kandidat,” ujar Mas’udi. (Rosa)