Kisah Pahit di Balik Manisnya “Chockles” Gula Aren

2554
Kisah Pahit di Balik Manisnya “Chockles” Gula Aren.(Foto: Maulana)
Kisah Pahit di Balik Manisnya “Chockles” Gula Aren.(Foto: Maulana)

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – “Kuliah di teknologi pertanian itu kalau lulus kerjanya apa sih?” tanya Rehan Abdullah Salam ketika ia berada di tahun pertama kuliah. Pemilik bisnis Chockles Es Cokelat ini merasa telah salah jurusan karena ia sempat mengidam-idamkan kuliah di Teknik Mesin karena sangat menyukai fisika dan mekanik.

Jurusan yang ditekuninya adalah pilihan ketiga, sehingga tak banyak hal yang diketahui ketika masuk ke Teknologi Pertanian. Rehan yang tidak memiliki passion dalam kuliah dan kebingungan dengan prospek kerja dari jurusannya pun kemudian bertanya-tanya pada dosen dan kakak tingkatnya.

Jawaban mereka pun tidak memuaskan, sehingga Rehan memaksakan dirinya sendiri agar menyukai jurusannya dan berusaha menemukan kesenangan di dalamnya.

Memasuki tahun kedua, berkat ketekunannya pria kelahiran Gresik ini mulai cocok dengan Jurusan Teknologi Pertanian. “Alhamdulillah IPK bagus dan bisa lulus cepat karena berteman dengan kawan yang sangat pintar,” ungkapnya diikuti gelak tawa.

Kisah Pahit di Balik Manisnya “Chockles” Gula Aren.(Foto: Maulana)
Kisah Pahit di Balik Manisnya “Chockles” Gula Aren.(Foto: Maulana)

Rehan bersyukur saat kuliah dosen-dosennya memberikan banyak ilmu yang sangat bermanfaat untuk digunakan dalam dunia bisnisnya. Ia banyak belajar palm sugar dan mesin gula smooth dari  dosennya, Devi Yuni Susanti. Dosen lain yang juga mengajarkan ilmu berkaitan dengan bisnis adalah Saiful Rochdiyanto.

“Pak Saiful dan Bu Devi mengajarkan mata kuliah kewirausahaan, pada saat itu diberi tugas untuk membuat rencana usaha. Saya pun menuliskan tentang bisnis minuman cokelat dan mendapat nilai A. Sekarang bisnis itu benar-benar menjadi kenyataan,” kenang Rehan.

Ia pun selalu ingat dengan pesan Pak Saiful agar tidak membuat produk yang lebih baik, tetapi harus berbeda dari yang lainnya. Rehan mencontohkan dengan Warung Burjo, kualitas rasa antara satu Burjo dengan yang lain mungkin saja berbeda. Akan tetapi, mereka tetap saja memiliki produk yang sama, sehingga tidak terlalu banyak mendapatkan notice dari konsumen.

Kehabisan Uang

Setelah lulus kuliah, Rehan mendapatkan predikat cumlaude bersama dengan seorang teman, Redika, yang banyak membantunya dalam bidang akademik. Namun, mereka berdua menempuh jalan yang berbeda karena Redika melanjutkan pendidikannya di jenjang Magister, sedangkan Rehan justru memilih untuk menikah. Ia sempat menyesali keputusannya untuk menikah di usia muda.

“Waktu menikah, saya belum memiliki pekerjaan dan penghasilan, justru yang terjadi adalah pengeluaran yang terus-menerus,” ungkapnya.

Untuk menafkahi keluarganya, Rehan pun mulai mencari lowongan pekerjaan dengan predikat sebagai freshgraduate. Upaya yang ditempuhnya ternyata tak berjalan mulus. Rehan tentu saja memenuhi persyaratan seperti freshgraduate, usia maksimal kerja, dan IPK.

“Kalau gengsi, nanti saya tidak bisa cari makan,” ucapnya singkat.(Foto: Maulana)
“Kalau gengsi, nanti saya tidak bisa cari makan,” ucapnya singkat.(Foto: Maulana)

Namun, ia selalu terbentur dengan perusahaan seperti sawit, bulog, dan perkebunan yang selalu mensyaratkan belum menikah. Ia sering mendapatkan informasi-informasi lowongan pekerjaan yang disampaikan oleh ketua angkatan, akademik, dan alumni ftp.

“Selalu saja ada hambatan ketika berniat ke kampus untuk mencari lowongan pekerjaan,” terang Rehan.

Saat ke kampus, ia pernah kehabisan uang. Kedua ban motornya bocor. Uang di saku yang tinggal Rp.20 pun terpakai untuk menambal ban. Sialnya, ketika melihat lowongan pekerjaan di kampus, Rehan tetap tidak dapat memenuhi persyaratan “belum menikah”.

Tak berhenti di situ, saat Rehan pulang ke rumah kontrakannya yang berada di daerah Seturan, ternyata bensinnya habis. Sementara uang di kantong juga sudah habis. Rehan terpaksa menuntun motornya dari kampus hingga sampai ke rumahnya.

Jatuh Bangun Merintis Usaha

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian angkatan 2008 ini mengaku kehabisan uang karena seluruh tabungannya dihabiskan untuk berinvestasi di kafe yang tengah dirintisnya. Salah satu menu yang disajikan di kafe tersebut adalah cokelat palm sugar yang saat ini disebut Chockles.

“Kesalahan saya saat membuat kafe pertama adalah lokasinya berada di jalan buntu, tidak dilalui banyak orang, dan karena tertarik dengan harga sewa yang terlalu murah. Alhasil, kafe saya gulung tikar,” ungkap Rehan.

Rehan masih setia dengan menu cokelat palm sugar-nya dan menjual dalam kemasan sachet dengan nama Sari Nira. Produk dalam kemasan ini laku di pasaran, tapi uang yang didapatkan tidak sebanding dengan pengeluaran sehari-hari yang harus dipenuhi. Sehingga sulit untuk berproduksi lagi. Belum kapok dengan kafe yang pertama, Rehan masih mencoba bekutat dengan bisnis kafe. Kali ini ia bekerja sama dengan salah satu temannya.

Belajar dari kesalahan dari kafe yang pernah dibuka sebelumnya, Rehan bersama kawannya ini telah memilih tempat ramai, dilalui banyak orang, dan ada pangsa pasar yang konsumtif. Namun rupanya kawan Rehan justru absen ketika dibutuhkan untuk merintis kariernya. Dengan kondisi ini, Rehan harus bekerja sendirian mengelola kafe, menghadapi preman, memotong rumput, hingga membersihkan abu Gunung Kelud.

Di tengah-tengah kesulitan dan himpitan ekonomi, istri Rehan yang tengah hamil tua sulit untuk menerima keadaan dan meminta untuk kembali ke kampung halamannya di Balikpapan.

“Mau tidak mau, saya dan istri harus menceritakan keadaan sebenarnya pada orang tua, sehingga mereka banyak menekan saya karena belum mampu menafkahi keluarga,” terang Rehan.

Tidak lama berselang, anak pertama Rehan lahir dan biaya persalinan seluruhnya ditanggung oleh pihak keluarga. Di sinilah Rehan mulai serius dengan bersumpah agar istri dan anaknya tidak merasakan kelaparan.

Ngamen untuk Membuat Gerobak Cokelat

Setelah anaknya lahir, Rehan kembali fokus melanjutkan usahanya. Kafe sebelumnya yang dirintis bersama temannya ternyata menempati tanah yang telah dijual, sehingga bangunan (kafe) diatasnya harus dirobohkan.

Kafe yang telah dirobohkan ini menyisakan tempat kasir berisi cokelat dan palm sugar yang menjadi bahan baku dari Chockles. Kemudian Rehan berinisiatif untuk mengubah tempat kasir tersebut untuk menjadi gerobak dorong.

“Untuk memodifikasi tempat kasir menjadi gerobak, saya mengamen di GSP dan mendapatkan uang 300 ribu,” kenangnya. Uang yang didapatkannya tersebut digunakan untuk membeli ban vespa yang kemudian dilas dengan linggis.

Setelah gerobak jadi, Rehan mendorong gerobaknya selama satu tahun di area UNY. Di sana ia mengais rezeki di jalanan bersama pedagang-pedagang lainnya. Rehan sering dikatai orang-orang seperti “Lulusan UGM kok mung dodolan ning kene” (lulusan UGM kok cuma jualan di sini), tetapi perkataan tersebut hanya dibalas dengan senyum dan doa agar dagangannya laris.

“Kalau gengsi, nanti saya tidak bisa cari makan,” ucapnya singkat. Rehan banyak mengurangi waktu istirahatnya untuk mengolah cokelat, mendorong gerobak, serta selalu memperbaiki rasa dan kualitas.

Dengan kerja kerasnya mendorong gerobak selama 2014-2015, Rehan berhasil menarik banyak pembeli yang jumlahnya terus meningkat.

“Saya ini gak pinter promosi, tetapi karena harga murah dan rasanya yang enak, mungkin orang-orang tertarik membeli dan dengan sendirinya mempromosikan produk ini ke orang lain,” terangnya.

Pada tahun 2016, Chockles buatan Rehan telah memiliki paten dan bisnisnya selalu berkembang dari tahun ke tahun. Saat ini, Rehan memiliki 11 cabang di Jogja, 9 di Semarang, 3 di Magelang, 3 di Jakarta, 1 di Surabaya, 1 di Malang, dan 1 di Balikpapan.(Tita)