Semangat Multikulturalisme dalam Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY)

895

“Namun, dengan adanya PBTY, terjadi perubahan nilai pada liong dan barongsai dari makhluk sakral menjadi bersifat hiburan dan nilai ekonomi,” tulis Sudono.

Disertasi Sudono yang berjudul Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta: Kajian Kritis Multikulturalisme di Prodi Kajian Budaya dan Media UGM 2015, menjelaskan bahwa para pemain liong dan barongsai tidak hanya dari kalangan Tionghoa saja, tetapi juga non-Tionghoa.

Bahkan, liong dalam bentuk raksasa juga dimainkan oleh TNI AU, TNI AD, Kepolisian, dan berbagai komunitas liong-barongsai di Yogyakarta. Dalam perkembangannya, pekan budaya ini dapat berkolaborasi antara kebudayaan Jawa dengan Tionghoa.

Oleh karena itu, agent yang terlibat didalamnya pun meluas, mulai dari pemerintah daerah, paguyuban liong dan barongsai, paguyuban seni tari, LSM, Banser Nahdlatul Ulama (NU), hingga masyarakat biasa seperti tukang parkir.

Menurut Sudono, PBTY tidak lagi membicarakan politik, agama, suku, ras, warna kulit, maupun golongan, tetapi mengenai ekonomi, kesejahteraan, keharmonisan hubungan antar amsyarakat, serta rasa saling menerima antara satu sama lain.

Melalui PBTY inilah praktik multikulturalisme dapat diwujudkan. Sudono menganggap dengan ada PBTY dapat memberikan kesempatan bagi kalangan Tionghoa untuk bangkit di tengah masyarakat yang multikultur. Hal ini karena pada periode sebelumnya, mereka mengalami tekanan diskriminasi yang cukup lama.

“Bahkan, PBTY mampu meminimalisir stigma negatif kalangan Tionghoa yang biasanya dianggap eksklusif, pelit, dan sebagainya,” tulisnya.(Tita)