Obsesi Pemerintah Hindia Belanda Menyejahterakan Satwa

337
Satwa Indonesia.(Foto: Ujung Jari Channel)
Satwa Indonesia.(Foto: Ujung Jari Channel)

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Obsesi pemerintah Hindia Belanda untuk menyejahterakan satwa bermula dari kesewenang-wenangan tindakan manusia terhadap satwa.

Kesewenang-wenangan ini terlihat dari adanya pertumbuhan kapitalisme yang berdampak pada pengrusakan hutan, perburuan dan perdagangan satwa, serta mempekerjakan kuda, sapi, dan lembu secara berlebihan.

Selain itu, tumbuhnya industri fashion di Eropa dan Amerika yang memanfaatkan bulu sebagai bahan baku mantel atau topi pun turut meningkatkan perburuan satwa di Hindia Belanda.

Dalam tesis “Animal Welfare di Hindia Belanda: Perkembangan Wacana tentang Kesejahteraan Satwa 1896-1942”, Budi Gustaman menjelaskan bahwa dengan adanya kesewenang-wenangan ini muncullah wacana kesejahteraan satwa (animal welfare). 

Kesadaran atas kesejahteraan satwa muncul di Inggris dan Amerika yang kemudian menyebar ke negara-negara Barat, hingga ke negara koloni seperti Hindia Belanda.

Penyebaran wacana tersebut dilakukan oleh agency yang terdiri dari individu dan kelompok pencinta satwa yang ada di setiap negara. Dengan adanya kesejahteraan satwa, maka disebarkan informasi mengenai sisi psikologis satwa yang mengalami penderitaan atas berlangsungnya tindakan manusia yang sewenang-wenang.

Oleh karena itulah, manusia harus memperlakukan satwa dengan lebih “manusiawi” dengan memenuhi kebutuhan seperti makan, kandang, pengobatan, serta menjaga perilakunya agar tetap normal.

Agency yang terdapat di Hindia Belanda adalah Nederlandsch-Indische Vereeniging tot Bescherming van Dieren (Perkumpulan Pelindung Satwa Hindia Belanda) yang dibentuk pada 1896 dan Nederlandsch-Indische Vereeniging tot Natuurbescherming (Perkumpulan Pelestarian Alam Hindia Belanda), yang dibentuk pada 1913.

Wacana kesejahteraan pun disebarluaskan melalui majalah, koran, dan praktik-praktik langsung yang dilakukan agency tersebut. Bahkan, kesejahteraan satwa ini diatur secara hukum, salah satunya pelarangan penggunaan kuda yang berusia muda dalam Staatsblad 1897 No.87.

Meskipun memiliki maksud yang baik untuk memperlakukan satwa dengan lebih “manusiawi”, wacana tersebut berbenturan dengan perlakuan masyarakat di Hindia Belanda terhadap satwa. Perlakuan tersebut diantaranya penyembelihan ternak, mempekerjakan satwa yang sakit, perburuan satwa liar, pembasmian satwa yang diduga terkena wabah rabies, dan kebiasaan mengadu satwa.

Masyarakat juga sulit menerima aturan dari pemerintah mengenai pelarangan menggunakan kuda dalam keadaan muda, mengadu satwa, berburu, dan memperdagangkan satwa liar.  Akan tetapi, ada aturan dari pemerintah kolonial mengenai kesejahteraan yang mendapat respon baik dari masyarakat.

“Respon tersebut diantaranya mau memakaikan sepatu kuda untuk menghidari kecelakaan, serta memanfaatkan fasilitas rumah sakit hewan.],” tulis Budi dalam tesisnya di Magister Ilmu Sejarah UGM, 2015.(Tita)