Mengenal Suporahardjo, Sosok di Balik Tanoker yang Ramah Anak

1693

Selain itu, Supo ternyata juga memiliki kemampuan tari dan sempat tampil di panggung. “Saya juga sempat ikut menari saat kuliah, mungkin jadi terbawa sampai sekarang dan ditularkan ke anak-anak,” ungkapnya.

Sama seperti mahasiswa lain yang memiliki kelompok studi, Supo juga memiliki kelompok studi lingkungan. Meskipun terfokus pada aspek lingkungan, tetapi ia juga banyak bertukar pikiran dengan mahasiswa-mahasiswa dari klaster sosial-humaniora (soshum). ia sering berdiskusi dengan mengundang narasumber yang ahli dalam bidangnya.

“Mungkin dari sini juga saya tertarik dengan isu-isu sosial, sehingga melanjutkan pendidikan di Jurusan Sosiologi, FISIP UI,” tambahnya.

Supo yang kerap mewakili Fakultas Kehutanan untuk workshop dan pertemuan mahasiswa ini rupanya senang nongkrong di Gelanggang Mahasiswa. Ia juga menceritakan gayanya sewaktu kuliah, yaitu dengan celana jeans yang jarang ganti dan rambut gondrong seperti yang masih bisa dilihat sampai sekarang.

Karena rambut gondrongnya ini, Supo sempat dilarang wisuda. “Dulu gak boleh wisuda karena gondrong. Ya sudah, gakpapa kalau tidak boleh wisuda, yang penting saya tetap seperti ini.Tapi, akhirnya saya tetap boleh ikut wisuda juga dengan rambut gondrong saya,” ungkapnya.

Supo yang sudah aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sejak 1985 ini memang suka melakukan pengabdian sosial. Ia bersama rekan-rekannya telah membantu warga mengembangkan kerajinan yang ada di daerah Godean.

Jiwa pengabdian sosial ini pun masih terbawa sampai sekarang yang kemudian diterapkan pada anak-anak di Ledokombo. “Dengan adanya Tanoker di wilayah ini, kami berusaha percaya dengan anak-anak yang dapat menjadi pelopor perubahan,” ungkapnya.(Tita)