Fisipol UGM dari Zaman ke Zaman

1579

SEJAK tahun 1983 Prof. Dr. Susetiawan, S. U. atau yang akrab dipanggil Prof. Sus mengajar di Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), dulu bernama Sosiatri. Sekitar 35 tahun Prof. Sus sudah melewati zaman, mengajar silih berganti orang, dan menyaksikan adanya berbagai perbedaan yang terjadi di Fisipol UGM. Prof. Sus mengulas perbedaan Fisipol dimulai dari bentuk gedung, kualitas dosen, hingga karakteristik mahasiswa.

“Gedung di Fisipol UGM cabang Bulaksumur dahulu tidak seperti sekarang ini bentuknya. Kini gedung yang sudah berlantai lima, dahulunya berlantai dua. Gedung Fisipol mulai mengalami renovasi besar-besaran dimulai ketika zaman Prof. Pratikno, M. Soc., Sc. menjadi Dekan Fisipol UGM,” urai Prof. Sus.

Saat itu Pak Tik (panggilan Prof. Dr. Pratikno, M. Soc., Sc.) mengumpulkan berbagai alumni Fisipol di seluruh wilayah dan dibentuklah Keluarga Alumni Fisipol UGM (Kafisipolgama). Berbagai kalangan dikumpulkan dalam Kafisipolgama dan disepakati ingin adanya perombakan gedung Fisipol UGM.

“Mereka bersama-sama didorong Pak Pratik untuk menginisiasi merombak gedung,” kenang Prof. Sus.

Lalu, bagaimana tentang perubahan dosen di Fisipol UGM? Prof. Sus menjelaskan dengan semangat. “Pertambahannya selain pertambahan jumlah, dosen yang kemudian lulus S3 sudah lebih banyak dibanding zaman dulu. Zaman dulu paling banyak dari Hubungan Internasional (HI) dan Administrasi Negara (AN).  Dulu PSDK paling sedikit doktornya, sosiologi, komunikasi juga sedikit. Sekarang ini jumlah doktor hampir sama semua. PSDK yang dulu sedikit sekarang kira-kira ada 11,” ucap Prof. Sus sambil menghitung satu-per satu dan menyebutkan nama siapa saja dosen bergelar doktor di PSDK.

Selain dosen yang sdah menempuh S3 semakin banyak, guru besar di Fisipol UGM pun sekarang sudah merata di setiap jurusan. “Dulu paling banyak guru besar itu HI dan AN yang sekarang namanya Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP),” ucap Prof. Sus.

Tak kalah menarik juga tentang karakteristik mahasiswa zaman now dan old. “Mahasiswa jelas berubah. Waktu saya awal jadi dosen, kalau konflik antarmahasiswa masih ada yang membawa  senjata tajam. Konflik disebabkan macam-macam. Dari mulai tentang perempuan sampai kepentingan. Sekarang sudah tidak ada lagi. Mungkin itu karena zaman ya. Zaman-zaman seperti itu berkelahi masih banyak. Ada pula konflik antarkelompok tentang keanggotaan di senat mahasiswa, fakultas, dan BEM. Konflik seperti itu kadang tinggi. Tapi sekarang tidak,” ungkapnya.

Menurut pengamatan Prof. Sus, orientasi belajar zaman sekarang semakin tinggi. Tentu hal itu membuat kreativitas semakin tinggi pula. Zaman dahulu tidak ada fasilitas untuk riset, sekarang banyak sekali mahasiswa  yang memenangkan riset unggulan.

Apakah ketika orientasi belajar mahasiswa semakin meningkat, gerakan aktivisme mahasiswa menjadi sepi peminat? Prof. Sus memiliki pemikiran lain. “Organisasi ekstra menurut hemat saya tetap perlu agar kehidupan kampus menjadi demokratis. Dulu gontok-gontokan ­masih pakai otot, sekarang sudah pakai cara berpikir. Berbagai organisasi ekstra mahasiswa sekarang bisa duduk bersama meskipun berbeda pendapat,” jelas Prof. Sus.

Pentingnya berbagai organisasi ekstra mahasiswa bertujuan agar kampus menjadi demokratis dan tidak ada warna tunggal di kampus. “Namanya ilmu sosial itu lebih demokratis dan tidak terkotak dengan kacamata kuda. Ilmu sosial tidak memiliki kepastian karena sangat hipotetik. Tidak semuanya bisa dipakai untuk segala peristiwa. Pada tingkat itu sebenarnya pemikiran mahasiswa harusnya diwarnai dengan berbagai warna cara berpikir. Itu yang membuat suasana lebih demokratis,” terang Prof. Sus.

Kebebasan berpikir rupanya juga sudah dilakukan oleh dosen-dosen Fisipol UGM. Menjadi pengalaman menarik bagi Prof. Sus ketika zaman Yahya A. Muhaimin menjadi dekan Fisipol UGM. Saat itu diselenggarakan seminar rutin dengan tema ekonomi politik. Prof. Sus yang saat itu baru pulang dari pendidikan di luar negeri berdebat dengan Yahya yang sudah menjabat sebagai dekan Fisipol UGM.

“Pada waktu itu saya berdebat dengan Pak Yahya. Antara junior – senior dalam soal ilmu pengetahuan tidak ada batas. Ketika saya berbicara dengan perspektif Marxis dan Pak Yahya ngomong dengan teori Weberian. Itu perdebatannya luar biasa kenceng. Pak Yahya sampai mengeluarkan buku ini lo,” ucap Prof. Sus sembari tersenyum karena mengingat kenangan yang paling mengesankan bagi beliau.

Karena adanya kebebasan berpikir membuat junior dan senior tidak ada jarak untuk berdebat hal seputar akademis. Itu membuat banyak orang di Fisipol UGM dapat berkembang dan besar dengan kemampuannya sendiri, tidak mengekor pada seniornya.

“Fisipol sangat egaliter. Mereka tidak mengekor. Kebebasan akademik terpelihara dengan baik dan sangat subur sehingga pikiran-pikiran bertumbuh. Itulah karakter Fisipol,” tutur Prof. Sus. [Ashilly Achidsti]