Melihat Reformasi Lewat Novel Laut Bercerita

402
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, bekerja sama dengan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dan Himpunan Sarjana Kesusateraan Indonesia (HISKI) mengadakan diskusi novel berjudul Laut Bercerita.
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, bekerja sama dengan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dan Himpunan Sarjana Kesusateraan Indonesia (HISKI) mengadakan diskusi novel berjudul Laut Bercerita.

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Dalam rangka peringatan dua dekade peristiwa Reformasi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, bekerja sama dengan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dan Himpunan Sarjana Kesusateraan Indonesia (HISKI) mengadakan diskusi novel berjudul Laut Bercerita, Rabu (24/1/2018).

Bertempat di Auditorium Gedung Soegondo Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, acara ini menghadirkan sang penulis, Leila S. Chudori, yang didampingi oleh dua pembahas, yakni Prof. Dr. Faruk, S.U. dan Dr. Farabi Fakih, serta Dr. Sudibyo selaku moderator.

Mengawali acara utama, Dr. Farabi Fakih memaparkan perspektifnya terkait novel tersebut. Sebagai seorang akademisi ilmu sejarah, Farabi mengakui novel Laut Bercerita memiliki nilai kajian historis yang cukup tinggi.

“Melalui pengisahan seorang bernama Laut dan adiknya, Asmara, buku Laut Bercerita menempatkan dirinya dalam rangkaian diskusi terkait peristiwa Reformasi yang notabene merupakan salah satu peristiwa besar di Indonesia,” ucap Farabi.

Ia juga mengatakan, sudut pandang perorangan yang ditawarkan novel tersebut cukup menarik untuk menggugah masyarakat awam maupun kalangan akademisi, khususnya yang berkecimpung di dunia ilmu sejarah, dalam menelaah peristiwa Reformasi.

Oleh karena itu, menurut Farabi, tokoh-tokoh yang diceritakan dalam novel ini tidak sekadar menjadi subjek yang mengisi cerita, namun juga berperan sebagai agen untuk menstimulasi pengkajian peristiwa Reformasi.

Senada dengan yang diucapkan Farabi, Prof. Faruk berpendapat bahwa kita memang memerlukan cara baru untuk melihat peristiwa Reformasi, misalnya mengenai apa yang dilakukan para aktivisnya berikut dengan ideologi-ideologi yang mereka bawa.

Faruk juga menuturkan, novel Laut Bercerita dapat menjadi referensi alternatif untuk menjawab permasalahan-permasalahan terkait Reformasi yang kerap dipertanyakan masyarakat awam.

Sebab, dalam pandangannya, poin-poin yang diungkapkan dalam novel Laut Bercerita cukup paripurna untuk merepresentasikan sisi sejarah Reformasi yang sesungguhnya.

Menanggapi komentar kedua pembahas, Leila S. Chudori mengatakan bahwa cara pandang dalam karyanya ini memang tidak terlepas dari karakter penulisan yang ia miliki.

“Seperti halnya novel saya sebelumnya, semisal Pulang, alur kisah Laut Bercerita sengaja saya desain untuk tidak berangkat dari permasalahan
makro, yang dalam hal ini terkait Reformasi.”

Sebaliknya, novel ini saya sajikan dengan narasi dinamika keluarga tokoh utama, yakni Laut, berikut dengan tindak-tanduk tokoh pendukung lain yang dimunculkan dalam novel ini,” ungkap wanita yang juga bekerja sebagai wartawan Tempo ini.

Namun demikian, sebagai sebuah novel bergenre fiksi-historis, substansi kisah yang dipaparkan dalam novel Laut Bercerita bertumpu pada hasil wawancara mendalam,
khususnya terhadap para aktivis yang pernah terlibat di dalamnya.

Oleh sebab itu, Leila mengutarakan, hal ini bukan tidak mungkin menyebabkan para pembaca akan mampu menautkan figur-figur novel Laut Bercerita dengan sejumlah tokoh nyata yang mereka kenal.

“Tetapi tentu saja penokohan tersebut telah melewati proses pengimajinasian, sehingga identitas tokoh-tokoh riil tersebut tidak betul-betul terlihat gamblang,” ujarnya. (dio)