Penelitian Situs Trowulan Perlu Metode Strategi Baru

447

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Penelitian  tentang situs Trowulan di Mojokerto, Jawa Timur perlu disegarkan kembali melalui pengkajian dengan perspektif baru. Mengingat, Trowulan merupakan situs arkeologis yang paling banyak diteliti namun fokus penelitian selalu berpijak dari temuan gerabahnya. Salah satu temuan yang perlu diteliti lebih masif adalah keberadaan kanal di sekeliling situs Trowulan.

Dosen Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM J. Susetyo Edy Yuwono, M. Sc. menegaskan perlu  strategi penelitian tentang Trowulan terhadap aspek-aspek makro yang perlu disegarkan kembali, jangan terjebak pada penelitian yang parsial. Karena, dengan metode strategi gerabah yng dilakukan arkeolog selama ini, penelitian Trowulan tidak mengalami kemajuan atau hanya berjalan di tempat.

Gagasan tersebut disampaikan Susetyo dalam Seminar Peringatan 724 Tahun Majapahit yang diselenggarakan oleh Mandala Majapahit FIB UGM, Selasa (21/11/2017) di Gedung RM Margono Djojohadikusumo FIB UGM. Forum seminar yang dipandu Dr. Djoko Dwianto, M. Hum. itu menghadirkan narasumber Ir. Catrini Pratihari Kubontubuh, M. Arch. pada sesi pertama serta tiga narasumber di sesi kedua, yaitu Fahmi Prihantoro, S. S., S. H., M. A., Drs. Tjahjono Prasodjo, M. A. keduanya dosen Departemen Arkeologi FIB UGM, dan mantan Kepala Badan Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur Drs. M. Romli

“Pada 1983 ada temuan menyebutkan Majapahit sebuah pusat kerajaan yang memiliki kanal-kanal cukup besar yang terintegrasi pada kegiatan di masa Majapahit, terutama terkait perdagangan. Kanal  dibangun untuk menetapkan permukiman masyarakat bawah. Tapi, pada 2013 saya berpikir beda. Itu  bukan kanal dan mendapat tanggapan ramai. Sampai sekarang, yang terjadi di Trowulan, sebagian besar di Trowulan itu berada di lanskap kota masa lalu. Adanya kanal terkait kondisi lingkungan Trowulan yang dibentuk diawali dari selatan dalam membangun lanskap,” ungkapnya.

Menurut Susetyo, Trowulan sebetulnya merupakan daerah yang relatif aman dari letusan gunung berapi. Sungai di sekitar Trowulan memiliki alur cukup dalam dibandingkan sungai di sebelah barat Trowulan. Selain itu, kalau kanal benar-benar ada mestinya ada temuan jembatan yang juga dominan. Selain itu, kanal harus dibuat lebih dalam supaya mampu menampung air lebih banyak dan tidak cepat kering karena lapisan tanah banyak mengandung pasir.

Sementara itu, Ir. Catrini Pratihari Kubontubuh, M. Arch.  mengharapkan regulasi yang mengatur upaya pelestarian benda atau kawasan cagar budaya yang lengkap. Karena, terjadi perkembangan pemahaman tentang objek cagar budaya,  seperti yang diatur UNESCO, yang semula single object kemudian berkembang dan berubah tidak hanya sebuah objek, melainkan kawasan. Kedua, pemahaman tentang situs, apakah karena ada dua struktur berdekatan disebut situs ataukah dari aspek usia? Karena, kalau berdasarkan UNESCO, ada outstanding national value (pemahaman signifikansi di tingkat nasional).

Selain itu, terkait referensi regulasinya, timbul problem dari Undang-Undang (UU) No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang masih banyak bias dalam implementasinya karena ketiadaan Peraturan Pemerintah (PP) untuk menjalankan UU tersebut. Sehingga, selama tujuh tahun terakhir sejak diberlakukannya UU tersebut, namun implementasinya masih merujuk pada PP No. 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang diturunkan dari UU sebelumnya, yaitu UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Padahal, tidak sesuai lagi dengan upaya pelestarian situs budaya.

Ditegaskan Catrini, dengan ketiadaan PP menghambat penelitian karena sampai sekarang berarti arkeolog masih mendudukkan cagar budaya dalam ketentuan PP sebelumnya, misalnya definisi cagar budaya harus usia 50 tahun sehingga kalau belum berusia 50 tahun tidak dirawat. Hal itu bisa mengancam benda yang mestinya sudah termasuk cagar budaya, termasuk sanksi bagi perusak cagar budaya.

“Selama  tujuh tahun tak bisa menurunkan PP mungkin para pemangku kepentingan punya prioritas lain. Kemendikbud mungkin banyak hal lain yang jadi prioritas. Kalau dari komunitas, masyarakat, dan akademisi selalu mengingatkan. Tapi, pemerintah mungkin banyak PR lain, misalnya dengan kelahiran UU Pemajuan Kebudayaan. Itu masalah pertimbangan atau prioritas di pemerintah,” tandas kandidat Doktor Prodi Arsitektur ITB. [rts]