Rektor UGM: Meracik “Gado-Gado” Indonesia Harus Seimbang

691
Rektor UGM memberikan Kartu KAGAMA kepada Cak Nun.

BULAKSUMUR, KAGAMA – Tugas Universitas Gadjah Mada (UGM) adalah mendidik calon pemimpin bangsa. Harapannya nanti lahir manusia-manusia Indonesia yang cerdas, berbudi, unggul, dan harus bisa menciptakan budaya baru, yaitu budaya Indonesia yang mulia, agung, menjadi modal bangsa Indonesia untuk jaya dan memimpin peradaban dunia.

Demikian disampaikan Rektor UGM Prof Ir Panut Mulyono, M Eng, D Eng dalam Pagelaran Budaya Islam bertajuk “Menyongsong Persatuan Umat Islam dengan Mengedepankan Sikap Saling Menghargai Menuju Indonesia Bermartabat”, Kamis (8/6/2017) malam di halaman Gedung Rektorat UGM, Bulaksumur, Yogyakarta.

Rektor UGM Prof Ir Panut Mulyono, M Eng, D Eng tengah menyampaikan orasi tentang kebhinekaan di Indonesia dan peran segenap komponen kebangsaan untuk saling bekerjasama dan bertoleransi untuk mencapai kemakmuran, keadilan, dan kemuliaan dalam bernegara (Foto Firsto AP/Humas UGM)
Rektor UGM Prof Ir Panut Mulyono, M Eng, D Eng tengah menyampaikan orasi tentang kebhinekaan di Indonesia dan peran segenap komponen kebangsaan untuk saling bekerjasama dan bertoleransi untuk mencapai kemakmuran, keadilan, dan kemuliaan dalam bernegara (Foto Firsto AP/Humas UGM)

Rangkaian acara Ramadhan di Kampus yang digelar Jamaah Salahuddin UGM menghadirkan Emha Ainun Nadjib dan grup musik Kiai Kanjeng. Turut hadir antara lain dari jajaran pimpinan universitas, Kepala Pusat Studi Pancasila, Dekan, Dosen, segenap mahasiswa, dan masyarakat Yogya pada umumnya.

Menurut Panut, sebagai Universitas Pancasila, Universitas Kebangsaan, Universitas Pusat Kebudayaan, Universitas Perjuangan, dan Universitas Kerakyatan, UGM harus selalu menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia. “Menjaga Pancasila sebagai ideologi negara, menjaga keutuhan NKRI dan menjaga keutuhan negeri ini yang Bhinneka Tunggal Ika,” ungkapnya.

Kepada para hadirin, Panut menganalogikan Indonesia seperti gado-gado yang terdiri dari kubis, kacang, cabe, tahu, dan sebagainya. Seandainya rasa cabe terlalu pedas dan banyak, kata Panut, akan membuat kepedasan. “Kita tidak bisa merasakan enaknya tahu, hanya kepanasan mulut kita,” cetusnya.

Pimpinan universitas, Dosen/Dekan mendampingi Rektor UGM bersama Emha Ainun Nadjib dalam Pagelaran Budaya Islam (Foto Nurrokhman/KAGAMA)
Pimpinan universitas, Dosen/Dekan mendampingi Rektor UGM bersama Emha Ainun Nadjib dalam Pagelaran Budaya Islam (Foto Nurrokhman/KAGAMA)

Supaya olahan gado-gado tetap lezat, lanjut Panut, racikannya harus seimbang. “Nah, ini yang kita terapkan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Walaupun kita terdiri atas berbagai macam suku, agama, ada perbedaan kultur dan lain-lain, tetapi semuanya harus bersama-sama menyeimbangkan dan mempersatukan. Tidak ada yang terlalu dominan di antara yang satu dengan yang lain sehingga majunya kita bisa selaras dan sama-sama,” tegasnya.

Panut mengatakan, jikalau ada yang lebih unggul dari yang lain, hendaknya harus saling mengajari, saling membimbing, dan jangan saling sungkan untuk meminta. Semua itu, menurut Panut, apabila bisa terjadi maka harmonisasi di antara masyarakat Indonesia bisa terjamin. “Kemudian kita bisa maju bersama-sama dan mencapai kejayaan bangsa Indonesa, di mana umat Islam yang mayoritas ada di situ, tentunya bersama dengan umat-umat yang lain bisa membawa kejayaan Indonesia,” imbuhnya.

Umat Islam yang jumlahnya sangat besar, menurut Panut, apabila bisa mensyiarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, Islam yang mempersatukan, Islam yang menyejahterakan, dan Islam yang membahagiakan, Insya Allah bangsa Indonesia dalam waktu yang tidak terlalu lam akan mencapai kejayaannya.

Prof. Panut menerangkan bahwa paradigma “gado-gado” itulah yang seharusnya kita terapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Meski bangsa ini terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, tetapi kita harus bersama-sama menyeimbangkan dan mempersatukan sehingga tidak ada yang terlalu dominan satu dengan yang lain,” jelas Prof. Panut.

Pengunjung dari komponen masyarakat dan mahasiswa setia menyimak tausiyah, orasi, dan hiburan dari Rektor UGM, Emha Ainun Nadjib, dan hiburan musik religius Kiai Kanjeng (Foto Nurrokhman/KAGAMA)
Pengunjung dari komponen masyarakat dan mahasiswa setia menyimak tausiyah, orasi, dan hiburan dari Rektor UGM, Emha Ainun Nadjib, dan hiburan musik religius Kiai Kanjeng (Foto Nurrokhman/KAGAMA)

Lebih lanjut, Prof. Panut menjelaskan, jika terwujud keseimbangan dan persatuan maka kemajuan akan dapat dilaksanakan selaras bersama-sama.

Senada dengan Panut, Emha Ainun Nadjib menambahkan bahwa kewajiban muslim dan mukmin adalah menciptakan rasa aman dan nyaman bagi semua pihak. Menurut Cak Nun, apa yang disampaikan oleh Rektor UGM berarti membuat kita harus waspada dan jangan ada yang lebih dominan dari yang lain. “Masing-masing memiliki metodologinya sendiri. “Keadilan itu tidak dapat dicapai kalau tidak diperjuangkan bersama,” jelas Cak Nun yang pernah kuliah di Fakultas Ekonomi UGM tahun 70 an.

Emha Ainun Nadjib menanggapi paradigma “gado-gado” yang dijelaskan oleh Rektor UGM. Menurut Cak Nun, dari apa yang disampaikan oleh Prof. Panut, maka kita harus waspada, jangan ada yang lebih dominan dari yang lain karena masing-masing memiliki metodologi tersendiri. “Keadilan itu tidak dapat dicapai kalau tidak diperjuangkan bersama,” ungkapnya.

Selain itu, Cak Nun juga menjelaskan bagaimana kita menerapkan prinsip puasa di kehidupan sehari-hari. Menurut Cak Nun, puasa adalah menahan dari pada batasan yang tepat. “Kebenaran itu bukan di mulutmu, tetapi di hatimu,” ucapnya lugas.

Suasana penutupan dan doa bersama (Foto Nurrokhman/KAGAMA)
Suasana penutupan dan doa bersama (Foto Nurrokhman/KAGAMA)

Lebih lanjut Cak Nun mengilustrasikan, UGM adalah laboratorium untuk membangun peradaban NKRI. Melalui kampus paling sepuh di Indonesia ini, ungkap Cak Nun, telah banyak aktivitas yang dirintis. “Jilbab tidak akan menjadi lautan di Indonesia tanpa UGM pada tahun 80-an akhir,” jelasnya mengenang tatkala naskahnya Lautan Jilbab dipentaskan oleh Sanggar Shalahuddin UGM pada 1988.

Cak Nun melanjutkan, lahirnya kelompok diskusi, lngkaran-lingkaran intelektual se-Indonesia dimulai dari UGM pada 1979 yang bernama diskusi Shalahuddin. Cak Nun juga berharap dari UGM ini bisa kembali membangun Indonesia dari lingkungan yang kecil yakni Universitas. “Jadi kalau anda sekarang makan buah tanpa mempelajari pohon dan akarnya, anda tidak akan mendapat faedah apa-apa dari buah itu,” ungkapnya kepada para hadirin.

Sebelum pegelaran dimulai, ada pemberian plakat sebagai simbolis kenang-kenangan dari panitia untuk Panti Asuhan Diponegoro, Panti Asuhan Darunnajah dan Panti Asuhan Al Ghifari di Yogyakarta. Di awal acara, Rektor juga menyerahkan secara simbolis Kartu Kagama untuk Cak Nun yang pernah kuliah di Fakultas Ekonomi UGM.[Taufiq Hakim/Catur/Humas UGM]