Warga Tionghoa Pernah Berikan Pertolongan Saat Yogyakarta Krisis

720

Baca juga: Terpilih sebagai Ketua, Dodo Suhendar: KAGAMA Jawa Barat Salah Satu Kekuatan untuk Membangun Indonesia

Sebab, dalam konteks Jogja, Arif menilai hubungan antara komunitas Tionghoa dan Kasultanan Yogyakarta terbilang mesra.

Hal itu dibuktikan dengan lahirnya beberapa monumen, seperti Prasasti Tionghoa, Tugu Ngejaman, serta Klentheng Gondomanan.

“Pada masa kolonial dahulu, Yogyakarta sempat mengalami krisis. Dalam masa ini, warga Tionghoa lah yang membantu penyediaan barang,” terang Arif.

“Bahkan, Bakpia yang menjadi kuliner khas Jogja sekarang merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa,” tutur pria yang mengajar di Departemen Sejarah UGM sejak 2003 ini.

Titik terang keberadaan warga Tionghoa di Indonesia dinilai Arif datang pada masa Gus Dur duduk di singgasana presiden.

Gus Dur, yang kondang dengan pemikiran multikultural, menggagas Imlek sebagai salah satu hari libur untuk warga Tionghoa.

Namun, pada masa Presiden Megawati, Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional.

Baca juga: Sekjen Kemendes PDTT, Anwar Sanusi: Selain Kumpul-kumpul, KAGAMA Harus Terus Migunani bagi Masyarakat

“Selama orde baru, Imlek tidak termasuk dalam hari libur nasional karena hanya dianggap sebagai perayaan budaya,” ucap Arif.

“Pada masa itu, karena tidak diakui secara nasional, perayaan Imlek hanya mereka lakukan secara tertutup.”

“Dengan diakuinya Imlek, berarti diakui pula eksistensi komunitas Tionghoa sebagai bagian dari negeri ini,” jelasnya.

Kendati Imlek sudah ditetapkan sebagai hari libur nasional, warga Tionghoa disebut Arif masih menyimpan rasa takut.

Oleh karena itu, penyelenggaraan PBTY menurutnya hadir untuk mendorong warga Tionghoa terlepas dari rasa takut dan menjadi komunitas yang inklusif.

“Dengan PBTY, kami menerangkan kepada warga Tionghoa di Ketandan waktu itu bahwa mereka tidak perlu lagi merasa takut untuk mengekspresikan budaya mereka,” kata Arif.

Pada akhir kalimat, Arif menggarisbawahi bahwa istilah Tionghoa lahir setelah mereka melewati serangkaian peristiwa di Indonesia.

Untuk diketahui, istilah Tionghoa sudah disahkan oleh Presiden SBY melalui Kepres No. 12 Tahun 2014.

”Mereka ingin kita panggil ‘Tionghoa’ dibanding Cina karena istilah tersebut menunjukkan bahwa mereka merupakan bagian dari negeri ini,” ucap Arif.

“Tionghoa ditunjukkan bagi mereka yang Cina peranakan, artinya ikatan mereka dengan Cina daratan sana sudah lama putus, utamanya dalam hal politik.”

“Mereka lebih mengidentifikasi mereka sebagai orang Indonesia,” pungkasnya. (Tsalis)

Baca juga: Sekjen Kemendes PDTT Berharap Alumni UGM Jadi Presiden Lagi pada 2024