Tutik Sriani Kembangkan Alat Filter Air Hemat Energi

1089

Baca juga: Adi Djoko Serius Jalankan Amanah dan Ikhlas Hadapi Skenario Tuhan

Awalnya Tutik mencari cara bagaimana lembaran membran based itu bisa untuk memfilter air yang berkapur.

Dari situ kemudian berkembang, iiToya membuat alat filter pereduksi yang bisa menaikkan pH air, mereduksi bau air, dan mereduksi air berkapur.

”Sebetulnya membran ada berbagai macam, tergantung pori-pori dan jenis filtrasinya. Nah, kita main di mikro-filtrasinya. Karena ini jenisnya low pressure membrane. Jadi nggak perlu pompa, tinggal pasang langsung ke keran. Sebisa mungkin kita menghindari pompa supaya hemat energi,” jelas alumnus Teknik Mesin UGM angkatan 1999 itu.

Hadapi Kendala Memasarkan Produk

Dalam pengembangannya, melalui pendanaan Calon Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (CPPBT) dari Kemenristekdikti, iiToya kemudian membeli berbagai bahan untuk membuat alat filter tersebut.

Sejauh ini, iiToya sedang fokus pada pemasaran produk, karena sampai saat ini penjualannya masih sulit.

Sebetulnya jika dihitung secara kapasitas, iiToya lebih murah dibandingkan air garam.

Tutik menjelaskan, membeli filter air artinya kita melakukan investasi di awal.

Penyerahan unit trial iiToya. Foto: Dok Pri
Penyerahan unit trial iiToya. Foto: Dok Pri

Baca juga: Melalui Danais, Tujuh Desa G2R Tetrapreneur Budaya Pamerkan Produk Unggulan

Dijelaskan Tutik, daripada membeli filter air dengan harga Rp550.000 untuk satu tahun, orang masih lebih memilih membeli air isi ulang.

Padahal bisnis galon air seringnya mengeksploitasi air milik penduduk.

Akan lebih baik jika masyarakat memanfaatkan air sendiri yang kemudian disaring.

Dengan cara ini juga, masyarakat ikut berpartisipasi melakukan konservasi air.

“Dari segi penjualan memang masih seret. Tapi, alhamdulillah yang beli memang yang benar-benar membutuhkan. Seperti orang-orang di daerah Pekanbaru, Dumai, Kalimantan, dan kota-kota besar, mereka terbantu dengan filter ini. Kalau ada yang belum pakai filter, menurut Saya mereka hanya tidak tahu dan sulit beralih dari air galon,” ujar peneliti yang menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Keio University, Jepang ini.

Dibutuhkan upaya untuk mengubah mindset masyarakat agar mau memenuhi kebutuhan air bersih secara mandiri.

”Air galon itu praktis karena ada dispenser. Banyak orang tidak mau mengeluarkan effort untuk masak air sendiri,” ujar lulusan S3 Teknik Manufaktur, Universiti Malaya, Malaysia ini.

Baca juga: ICBS 2019 Fakultas Biologi UGM Ajak Akademisi Dalam dan Luar Negeri Berkolaborasi