Termasuk  ISIS, Tak Ada Satu Pun Sistem Kekhilafahan yang Harus Diikuti Menurut Al Qur’an

564

Baca juga: Kisah Marwanto yang Bentuk Karawitan PK4L UGM dari Hitungan Senam

Mahfud MD tidak sepakat dengan ide yang dimiliki oleh ISIS tersebut.

Dalam video yang diunggah di akun Twitter-nya, pria 62 tahun ini memaparkan pandangannya.

“Tidak ada satu sistem khilafah tertentu yang harus diikuti menurut Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah,” tutur Mahfud, dalam sebuah forum.

“Oleh sebab itu, Indonesia memilih bentuk Republik dengan (sistem) presidensial. Malaysia memilih bentuk kerajaan dengan parlementer,” terangnya.

Mahfud menambahkan, dua sistem pemerintahan yang dianut Indonesia dan Malaysia tentu saja tidak melanggar Al Qur’an dan Assunnah.

Baca juga: Peneliti UGM Sebut Penyelesaian Kasus Kerajaan Abal-abal Tidak Mudah

Sebab, katanya, tidak ada ajaran bentuk negara di Al Qur’an dan Assunnah.

Bahkan, pria kelahiran Sampang ini memandang bahwa Islam melarang mendirikan negara seperti yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW.

“Karena negara yang didirikan oleh Nabi itu berbentuk teokrasi, yang mana Nabi memiliki tiga kekuasaan sekaligus,” ujar Mahfud.

“Yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sekarang tidak bisa ada negara seperti Nabi, haram hukumnya,” jelasnya.

Baginya, sekarang tidak ada satu orang pun yang bisa memerankan lembaga legislatif (hukum), eksekutif, dan yudikatif (peradilan), sebagaimana Nabi.

Baca juga: Kerajaan Abal-abal atau Asli? Begini Cara Membuktikannya

Maka dari itu, kini dibentuklah MPR (terdiri atas DPR dan DPD) sebagai lembaga legislatif.

Sementara peran lembaga eksekutif diampu oleh presiden, wakil presiden, dan para menteri yang menjalankan pemerintahan sehari-hari.

Adapun lembaga yudikatif yang memberikan peradilan atas perkara ditangani oleh Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.

“Pilihan bentuk negara dan sistem pemerintahan yang beragam itu sama benarnya. Sama-sama tidak bertentangan dengan syar’I,” pungkas Mahfud. (Ts/-Th)

Baca juga: Benarkah RUU Omnibus Law Benar-benar Diperlukan untuk Mereformasi Birokrasi?