Sri Margana: Sejarah itu Seksi di Segala Bidang

5272
Bagi Margana, sejarah saat ini sangat seksi. Sejarah hadir di mana-mana, dikemas dalam pertunjukan dan literatur. Foto: Istimewa
Bagi Margana, sejarah saat ini sangat seksi. Sejarah hadir di mana-mana, dikemas dalam pertunjukan dan literatur. Foto: Istimewa

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Ayah Dr. Sri Margana, M.Hum adalah seorang priyayi Jawa, sementara ibunya adalah seniman. Keduanya memberikan pengaruh besar bagi pria kelahiran 15 Oktober 1969, Klaten, Jawa Tengah ini.

“Ibu saya penari dan keluarga Ibu dari pedalangan. Sedangkan keluarga Bapak dari golongan petani dan priyayi,” terang Margana.

Besar dengan mengikuti background Ibu, anak tengah dari 7 bersaudara ini sempat berkeinginan melanjutkan sekolah di Institut Seni Indonesia (ISI) mengambil pedalangan, sebelum memutuskan masuk ke UGM.

“Tetapi orang tua bilang kalau mau jadi dalang kan bisa belajar sendiri dari Mbah. Akhirnya saya ambil sejarah di UGM yang masih ada kaitannya dengan seni budaya,” ujar Ketua Departemen Sejarah UGM itu kepada KAGAMA, belum lama ini.

Baca juga: Sejarawan UGM Kritik Suma Oriental Karya Tome Pires

Dalam mempelajari sejarah, Margana merasa lebih dekat dengan keluarga.

Seni budaya yang selama ini ia pelajari semasa kecil terasa lengkap ketika mempelajari Ilmu Sejarah di UGM.

Prodi Sejarah UGM termasuk program studi yang awal dibuka, dan termasuk pionir di UGM.

Berkecimpung dalam dunia sejarah menjadi kebanggan tersendiri baginya, pun menjadi bagian dari UGM adalah keinginan besar dari orang tua Margana (48) sejak ia kecil.

“Orang tua sejak dulu selalu bilang kalau sekolah ya di Gadjah Mada (dialek Jawa). Dan sampai saat ini Saya selalu membawa itu,” terangnya.

Selama menjadi Ketua Departemen Sejarah, Margana memfokuskan untuk meningkatkan SDM dan menjalin kerja sama dengan universitas-universitas lain. Foto: Margana
Selama menjadi Ketua Departemen Sejarah, Margana memfokuskan untuk meningkatkan SDM dan menjalin kerja sama dengan universitas-universitas lain. Foto: Margana

Baca juga: Sejarawan UGM: Yogyakarta Benteng Perjuangan NKRI di Masa Revolusi

Meskipun di awal semester ketika kuliah sempat sedikit kesusahan dengan banyaknya referensi yang harus dibaca, hal itu tidak menyulutkan semangatnya.

Titik balik dalam hidupnya terjadi ketika ia terpilih sebagai ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ).

Hal itu membuatnya lebih berkonsentrasi dalam mempelajari sejarah sekaligus dekat dengan para dosen.

Penerus Sartono Kartodirdjo

Semasa kuliah, Margana memiliki keinginan untuk bisa belajar Master dan Doktor di negeri Kincir Angin.

Karena, baginya Belanda adalah tempat belajar yang wajib bagi seorang sejarawan Indonesia.

“Akses penelitian sejarah di Belanda sangat terbuka. Dan setelah Guru Besar Sartono, belum ada lagi orang UGM lulusan dari Leiden. Alhamdulillah akhirnya saya dapat melanjutkannya sekaligus menjadi orang ke-2 setelah beliau,” tandasnya.

Oleh karena itu, semenjak lulus S1, ia mencari beasiswa sambil menjadi asisten dosen dan melakukan penelitian.

Sempat diterima di Cambridge, namun kesempatan itu terhalang karena biaya hidup yang mahal bagi Margana.

Baca juga: Mitos Perlu Diakomodasi dalam Sejarah Lokal