Sikap Bupati Ayu Retno Dumilah yang Membuat Purabaya Berubah Nama Menjadi Madiun

15278

Baca juga: Butuh Kontrol Secara Regulatif untuk Mengelola Perilaku Masyarakat di Masa Pandemi

Peristiwa ini pun menjadi bersejarah karena Purabaya untuk kali pertama dipimpin oleh wanita.

Saat Retno Dumilah berkuasa, pusat pemerintahan dipindahkan dari Sogaten Mangunharjo ke Wonorejo Kuncen.

“Di samping cakap dalam pemerintahan, Retno Dumilah juga sakti mondroguno. Beliau sering melakukan ritual di hutan Jogorogo,” tutur Purwadi.

“Tiap bulan ruwah topo kungkum di Kali Ketonggo. Berkat lelakunya ini, Raden Ayu Retno Dumilah mendapat pusaka Kembang Wijoyondanu,” bebernya.

Barangkali ritual itu yang membuat Retno Dumilah dapat memimpin Purabaya dengan sukses seperti para pendahulunya.

Satu hal yang istimewa dari dia adalah selalu mengutamakan kepentingan orang banyak.

Termasuk ketika dia menampung aspirasi masyarakat yang mengusulkan perubahan nama Purabaya menjadi Madiyun.

Baca juga: Pendekatan yang Harus Dipakai untuk Menuju Budaya Tatanan Baru

“Arti Madiyun yaitu mandhireng pribadi tumuju hadining kayun. Ma, mandiri atau berdikari,” ucap Purwadi.

Di, adi atau hadi berarti linuwih, indah, pinunjul. Yun atau kayun berarti kehendak, gagasan, cita cita luhur.”

“Madiyun sebuah nama yang mengandung nilai filosofis luhur, agung, terhormat, bermartabat,” lanjutnya.

Akhirnya pada 16 November 1590 Kabupaten Purabaya resmi berganti nama menjadi Madiun.

Kejadian ini bertepatan dengan pergantian tampuk kepemimpinan dari Retno Ayu Dumilah ke Raden Mas Rangsang.

Di sisi lain, sebagian pihak juga ada yang menyatakan bahwa perubahan status ini berkaitan dengan pernikahan Retno Dumilah dengan Raja Kesultanan Mataram, Danang Sutawijaya.

Retno Dumilah yang sakti akhirnya menyerah dalam pertempuran. Yakni setelah Danang Sutawijaya menaklukkannya dengan gendhing ladrang asmara laras slendro. (Ts/-Th)

Baca juga: KAGAMA Jatim Perkuat Jejaring Alumni untuk Membantu Masyarakat