YOGYAKARTA, KAGAMA – Talkshow Dialog Budaya dan Gelar Seni “Yogya untuk Semesta” memasuki episode ke-100 pada perhelatannya, Selasa Wage (22/8/2017) malam di Bangsal Kepatihan, Yogyakarta. Sejak digelar kali pertama pada Selasa Wage (17/4/2006) di tempat yang sama, saat itu forum tersebut mendapat dukungan kolaborasi doa dari Abdi Dalem Pamethakan dari Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman. Tema untuk episode ke-100 adalah “Membangun Budaya Yogya untuk Indonesia”.
Turut Hadir antara lain Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X, Kepala Kejaksaan Tinggi DIY Sri Harijati P., S.H., M.M., Kapolda DIY Brigjen. Pol. Drs. Ahmad Dorifi, M. Si., Dirut BPD DIY Drs. Bambang Setiawan, MBA, Sekda DIY Ir. Gatot Saptadi, MM serta mantan Sekda Tri Harjun serta mantan Pj Sekda. Narasumber, antara lain Heri Dendi selaku pengasuh “Yogya untuk Semesta”, Prof. Suratman, Ustadz Jazir ASP, Prof. Sudaryono, dan Prof. Sujito. Sedangkan co-moderator Willy Mahardika, serta co-moderator Rommy Heryanto.
Dialog juga dimeriahkan Gelar Seni Tari Kaca Nagara hasil kreasi penata tari Anter Asmorotedjo, S. Sn. dan wayang ringkes hip hop lakon Rama Nitik Napak Laku Budaya oleh Dalang Ki Catur Benyek Kuncoro, S. Sn.
Heri Dendi mengatakan, untuk pelaksanaan “Yogya untuk Semesta” ke depan akan digelar di kampung atau desa. Sehingga, topiknya juga disesuaikan dengan tiap-tiap desa yang dituju, disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing desa atau kampung. Perencanan tersebut sesuai pesan Sultan HB X agar “Yogya untuk Semesta” lebih membumi di wilayah DIY.
“Tadi pesan dari Ngarsa Dalem Sultan HB X untuk lebih disebarkan ke tingkat kampung dan desa. Supaya lebih kontekstual dan aplikatif. Itu sudah kita mulai tapi baru di dua lokasi, Kota Yogya dan Kabupaten Kulonprogo. Sebenarnya niat awal memang begitu. Setelah kita hadir di kecamatan misalnya, mereka harus bergerak sendiri sesuai potensi lokalnya,” terang Heri Dendi kepada kagama.co. usai acara.
Menurut Heri Dendi, warga masyarakat tidak lagi membutuhkan ceramah, melainkan dialog-dialog yang lucu atau menghibur tapi substansial dan juga dikemas melalui karya seni. Karena itu, Heri Dendi yang pernah menempuh studi di Fakultas MIPA Angkatan 1959 sudah mempersiapkan format penyajiannya. Misalnya, untuk penyampaian tema Hamemayu Hayuning Bawana, ia akan berdialog bersama Dalang Wayang Hip Hop Ki Catur Benyek Kuncoro, S. Sn. melalui tokoh wayang Sammy (tokoh yang diadopsi dari Semar) atau Gerry (dari tokoh Gareng) ditambah narasumber dari kampus atau perguruan tinggi.
“Itu perlu peralatan yang mobil. Sedang disiapkan oleh Dinas Kominfo untuk memodifikasi mobil untuk penyebaran informasi tentang berbagai hal. Saya dengar dari pak Hargo UGM juga punya panggung portabel. Kebetulan kita ada kerja sama dengan Dewan Pendidikan, UGM, dan Dinas Kebudayaan DIY. Nanti kita manfaatkan (panggung portabel). Nanti September coba saya siapkan, dicari waktu yang tepat,” ucapnya.
Ditambahkannya, format dialog “Yogya untuk Semesta” sebenarnya tiap ending sudah masuk open ended. Artinya, dari simpulan tiap-tiap episode seharusnya ditindaklanjuti dengan diskusi terbatas lebih intensif dengan format seperti focus group discussion (FGD) yang lebih fokus lalu muncul rekomendasi ke pemerintah daerah. Namun, hal itu belum dapat dilakukan karena keterbatasan anggaran dari APBD yang sangat ketat. Karena itu, perlu dirancang lebih matang sebelumnya. Sementara yang sudah dilakukan, pihaknya sudah bekerja sama dengan media, seperti JITV supaya informasi bisa disebarluaskan ke publik.
Sebelumnya, di tengah dialog, Heri Dendi menjelaskan perhelatan Dialog Budaya dan Gelar Seni “Yogya untuk Semesta” kali pertama membahas topik “Babad Giyanti, Makna, dan Aktualisasi”. Narasumber saat itu mendiang Prof. Dr. Damardjati Supadjar, Ir. H. Yuwono Sri Suwito, M.M., dan Drs. Suwardi Endraswara, M.S. (sekarang Prof.), Sedangkan Heri Dendi dan R.M. Dinusatomo, BA (sekarang KPH Pujaningrat) sebagai moderator.
Kelahiran “Yogya Semesta” diawali dari pertanyaan Heri Dendi kepada Sekda DIY saat itu Ir. Tri Harjun Ismaji, M. Sc., menanyakan apakah ada kegiatan rutin di Bangsal Kepatihan selain perayaan Malam 1 Sura. Saat itu tahun 2006. Karena belum ada, akhirnya Heri Dendi mendapatkan palilah Dalem Sultan HB X agar berkoordinasi dengan Sekda dan dikondisikan ke SKPD.
“Ide dasar untuk membumikan, bukan mengebumikan, implementasi lanjut Reformasi Birokrasi yang digulirkan sejak 1998. Tujuan kedua, sosialisasi gagasan-gagasan Ngarsa Dalem sekaligus panggung seni budaya Yogya. Karena itu dipilih digelar setiap Selasa Wage, dengan tagline menggali , mengkaji, dan merevitalisasi Budaya Yogya untuk Semesta. Kemudian diharapkan tiap kecamatan tumbuh kegiatan serupa yang berakar pada potensi lokalnya,” tandasnya. [rts]