Sertifikasi pada Produk Kehutanan Bisa Jadi Koheren dengan Kepentingan Kapital

294

Baca juga: KPH Notonegoro: Tarian Bukan Sekadar Pola Lantai dan Koreografi

Fenomena ini lantas populer disebut dengan non-state market driven. Namun, kata Yudi, mulai 2000 tren kembali bergeser.

Mekanisme pasar masih digunakan, tetapi aturan norma dan regulasi berasal dari institusi negara.

Aturan tersebut misalnya Illegal Logging Prohibition Act (ILPA) yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat.

Alhasil, kini yang terjadi adalah suatu negara menjadi pengendali pasar (state market driven).

“Mau tidak mau hal ini akan memengaruhi sistem pranata kita dalam pengelolaan sumber daya alam, hutan, dan sebagainya,” terang Yudi, yang lahir di Blora, 7 Juni 1976.

Baca juga: Dubes Djauhari Sebut 21 Produk yang Berkontribusi Tingkatkan Kinerja Ekspor Indonesia ke Tiongkok

Yudi melanjutkan, ada satu konsep yang sering disebut dalam dunia politik, yakni kelompok bootleggers (produsen alkohol) dan baptist (kaum moralis).

Menurut Yudi, dulu kaum moralis melarang alkohol diperjualbelikan secara bebas dengan berbagai alasan.

Namun, di sisi lain, produsen yang merupakan kaum kapitalis memandang pelarangan tersebut sebagai sebuah kesempatan. Yakni kesempatan untuk melipat gandakan keuntungan.

Jika dikembalikan pada kasus produk kehutanan, maka sertifikasi yang bernapaskan penyelamatan lingkungan, bisa jadi koheren dengan kepentingan-kepentingan kapital.

“Konteksnya adalah, kaum moralis melihat bahwa suatu mekanisme harus didorong supaya ada perubahan pengelolaan sumber daya ke arah yang lebih baik.”

Baca juga: Sumbangsih Pemikiran Warga KAGAMA untuk Wujudkan Indonesia 4.0 pada Aspek Keberlanjutan dan Energi