Seni “Meracik” Desa Ala Sarjana Farmasi

521

Nyaris Drop Out

Alumnus Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada ini semasa kuliah aktif dalam berbagai keorganisasian. Pergolakan sebelum dan sesudah reformasi menyeretnya untuk mengesampingkan perkuliahan formal di kelas.

Waktunya dihabiskan dalam berbagai kegiatan serta organisasi. “Saya dulu di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, untuk intra saya juga ambil bagian di Senat Mahasiswa,” ungkapnya.

Alhasil, waktu kuliahnya molor hingga sebelas tahun, terhitung sejak tahun 1997 hingga mendapat gelar sarjana farmasi (S.Farm) pada tahun 2008.

Pria kelahiran 14 Juli 1979 ini mengaku sempat terancam DO (Drop Out) dari UGM. Berdasarkan kesamaan nasib, ia bersama teman-temanya mendirikan KODAGAMA (Keluarga DO Gadjah Mada). Semacam gerakan untuk membantu mahasiswa yang terancam DO agar dapat segera lulus.

Sayangnya gerakan tersebut tidak terdengar lagi kiprahnya hingga saat ini. Semua lika-liku kehidupan kuliah tidak ia sesali. Justru pengalaman tersebut turut andil dalam kesuksessannya saat ini.

Walaupun berlatar belakang seorang sarjana farmasi yang nyaris DO, pada tahun 2012 Wahyudi membulatkan tekad untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa di tanah kelahirannya, Panggungharjo. Keikutsertaanya dalam pemilihan bukan didasari pertimbangan menang atau kalah.

Akan tetapi, ia ingin memberikan pendidikan politik yang baik. “Selama ini pemilihan di tingkat daerah selalu dimonopoli dengan politik modal. Itu coba saya lawan dengan memberi alternatif yang berbeda,” jelasnya singkat.

Berbekal dana yang sedikit dan hanya mengandalkan pendekatan masyarakat serta program yang telah disusun, Wahyudi berhasil terpilih menjadi kepala desa. Ini di luar dugaannya.

Baginya, kaidah umum seni meracik dalam ilmu farmasi tidak berlaku hanya untuk material obat. Pengelolaan masyarakat dan pemerintahan dibutuhkan pula seni meracik yang tepat.