Semangat Multikulturalisme dalam Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY)

889
Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta.(Foto: Tribun)
Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta.(Foto: Tribun)

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) diselenggarakan untuk menyambut tahun baru Imlek bagi kalangan Tionghoa yang juga diikuti oleh non-Tionghoa.

PBTY ini muncul dari ide Prof. Dr. Murdjiati Gardjito, peneliti UGM yang awalnya bertujuan menelaah makanan-makanan Tiongkok hingga kemudian berkembang menjadi pertunjukan budaya.

PBTY lahir pasca Reformasi setelah Presiden Abdurrahman Wahid mencabut politik diskriminasi pada masa Orde Baru.

Dalam studi yang dilakukan Sudono, penyelenggaraan PBTY sempat menuai pro-kontra karena adanya rasa takut dan trauma dari beberapa kalangan Tionghoa ketika budaya mereka digelar di hadapan publik.

Mereka mengkhawatirkan kalangan Tionghoa belum diterima publik, bahkan perayaan seperti menyambut Imlek pada masa Orde Baru pun tidak bisa diselenggarakan secara terbuka.

Akan tetapi, pemerintah daerah memberikan dukungan agar kalangan Tionghoa mau menyelenggarakan PBTY setiap tahunnya. Hal tersebut agar dapat membangun masyarakat yang sadar multiulturalisme, serta menggiatkan budaya dan kepariwisataan di Yogyakarta.

Dalam PBTY, ditampilkan liong dan barongsai yang dianggap sebagai makhluk berkekuatan supranatural, serta dipercaya memberikan keuntungan dan keselamatan, sehingga kedua makhluk tersebut dianggap sakral bagi kalangan Tionghoa.