Sebelum Resmi Dihapus, Ujian Nasional Memang Dicap Bikin Stres

172

Baca juga: Ganjar Pranowo Raih Piala Anggakara Birawa Berkat Sistem Pengaduan Terbuka Provinsi Jateng

Tidak seperti UN yang mengambil waktu akhir masa sekolah.

Ada alasan menarik dari pria 35 tahun ini di balik waktu penentan Assesmen tersebut.

“Pertama, kalau dilakukan di tengah jenjang akan bisa memberikan waktu kepada sekolah dan guru dalam melakukan perbaikan sebelum anak lulus,” ucap Nadiem.

“Kedua, karena dilaksanakan di tengah jenjang, jadi tidak bisa digunakan sebagai alat seleksi siswa, sehingga tidak menimbulkan stres pada anak-anak dan orang tua akibat ujian yang sifatnya formatif,” kata cucu dari Hamid Algadri, salah satu anggota parlemen pada awal berdirinya Republik Indonesia.

Berdasarkan pernyataannya di atas, Nadiem menilai Ujian Nasional bisa menimbulkan stres pada anak.

Baca juga: Kisah Mendiang Simbah Iringi Perjalanan Hidup Prof. Adi Heru Sutomo

Hal itu menandakan bahwa UN memiliki sisi negatif alias minor.

Namun, Hamid Mukhlis dan Koentjoro telah lebih dahulu meyakini bahwa UN adalah hal negatif buat siswa.

Mereka percaya siswa-siswi cenderung mengalami kecemasan menjelang UN.

Bahkan, kecemasan dapat memengaruhi keseharian para siswa.

Keyakinan itu mereka tuangkan dalam penelitian berjudul Pelatihan Kebersyukuran untuk Menurunkan Kecemasan Menghadapi Ujian Nasional pada Siswa SMA.

Baca juga: Anies Baswedan Raih Penghargaan Usai Sterilkan DKI Jakarta dari Korupsi

Penelitian itu terbit pada 2015 melalui Gadjah Mada Journal of Professional Psychology (GAMAJOP).

“Siswa mengatakan seringkali tidak dapat berkonsentrasi dengan baik saat mengerjakan soal-soal latihan UN yang diadakan oleh sekolah,” tulis Mukhlis dan Koentjoro.

“Mereka merasa guru yang memberikan materi pelajaran masih belum maksimal dan kurang seringkali terkesan tidak mau tahu dengan kondisi siswa,” lanjutnya.

Mereka juga menemukan sebuah fakta pada salah satu SMA di Yogyakarta.

Seluruh siswa kelas 12 di SMA tersebut mengalami kecemasan tingkat tinggi mencapai 29 persen.

Mengutip seorang pakar, Mukhlis dan Koentjoro yakin bahwa para siswa memiliki anggapan UN sebagai sesuatu yang menakutkan dan mengancam.

Hal itu dapat meningkatkan kemungkinan munculnya penilaian negatif terhadap UN. (Tsalis)

Baca juga: Teknologi Pemanfaatan Batu Bara Bersih Belum Berkembang, Mengapa?