SDM Perguruan Tinggi Dituntut Pahami Bioethics

86

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Perguruan tinggi dituntut mampu meningkatkan kapasitas atau kemampuan SDM (sumber daya manusia), baik mahasiswa dan dosen pengajar, untuk bisa memahami bioethics atau norma (moral).

Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M. Sc., Ph. D. selaku Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kemenristekdikti menyampaikan keynote speech dalamforum International Conference on Ethics for the Vulnerable,Rabu (3/1/2018) di Auditorium Fakultas Kedokteran UGM.

Terkait tuntutan tersebut, menurut Ali Ghufron Mukti, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi membuat rencana strategis (renstra). Salah satu poinnya, perguruan tinggi tidak hanya sebagai pusat pendidikan dan riset, melainkan juga menjadi pusat institusi pendidikan tinggi untuk mengembangkan dan membangun karakter masyarakat atau mahasiswa calon pemimpin bangsa.

“Yang kita lakukan pengembangan capasity building. Bagaimana kita meningkatkan kapasitas atau kemampuan SDM untuk bisa memahami bioethics. Bagaimana mahasiswa yang berintegritas, bekerja keras, sungguh-sungguh, toleran, menghargai perbedaan, bisa memiliki kompetensi,” terang alumnus Fakultas Kedokteran UGM.

Dikatakan, hal itu terkait fungsi perguruan tinggi yang sekarang ikut membangun karakter lulusannya. Agar bangsa memiliki daya saing tinggi, tidak cukup menghasilkan sarjana pintar tapi juga berkarakter bagus.

Kemudian, berkaitan dengan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional yang direalisasikan melalui BPJS, lanjut Ali Ghufron yang pernah menjadi Ketua Pokja Pengembangan BPJS, mengimplementasikan substansi dari nilai bioethics, yakni dengan menempatkan hak orang miskin setara dengan orang kaya dalam sistem pelayanan kesehatan. Karena itu, Ali Ghufron mengharapkan tidak ada lagi kasus penolakan BPJS oleh dokter atau rumah sakit. Mengingat, mereka memiliki kewajiban untuk melaksanakan prgram JKN melalui pelaksanaan BPJS.

“Sampai 2019 seluruh warga bangsa harus dijamin dalam mendapatkan pelayanan kesehatan,” imbuh mantan Wakil Menteri Kesehatan ini.

Menurut Ali Ghufron, terjadinya penolakan dokter dan rumah sakit terhadap BPJS  sebagai masalah di lapangan, masalah manajerial yang harus bisa diatasi. Termasuk para dokter harus memahami bagaimana sistem pelayanan kesehatan yang sudah direformasi bisa berjalan karena menyangkut perubahan di dalam sistem pembiayaan baik dari sisi masyarakat maupun dokternya.

“Dulu dokter bisa menetapkan tarif sendiri. Sekarang nggak bisa. Tarif dokter ditetapkan BPJS. Karenanya, di Fakultas Kedokteran harus diajarkan bagaimana konsep perubahan sistem pelayanan kesehatan yang berlaku,” tandasnya. [RTS]